Tanganku dengan cepat membanting tas backpack ku ke atas kasur lantas mengeluarkan beberapa pakaian dari lemari dengan emosi yang meletup letup.
Selang beberapa menit, aku hampir berjengit saat merasakan lilitan tangan mengungkung tubuhku kencang. Menahanku untuk bergerak lebih jauh.
Dengan amarah yang sudah sampai di kepala, aku berbalik kilat dan mendorong tubuh Justin kuat-kuat. Wajahku sudah becek air mata. Emosiku sama sekali tak dapat ku bendung.
Sekali lagi, pria itu mencengkram kedua lenganku kencang dan memeluk tubuhku dari belakang. Kali ini benar-benar kuat hingga aku nyaris tidak dapat berkutik sedikitpun.
"Mian, mianhae..." Ujarnya persis di dekat telingaku.
Tubuhku melemas, entah bagaimana sampai kami bisa bertengkar separah ini mengingat nyaris beberapa jam yang lalu kami masih tertawa tawa di sepanjang Via Veneto. Beberapa jam lalu kami masih sibuk berebut suapan Bruschetta terakhir sambil terbahak kencang karena tersedak tequila. Rasanya baru tadi kami terasa begitu dekat satu sama lain sebelum sekarang, kami benar-benar saling membenci dan bahkan tidak sanggup barang untuk saling menatap.
Justin bergerak cepat membuatku duduk diatas kasur sedang dia berlutut di bawah. Kedua tangannya masih mencengkram lenganku erat-erat.
"Aku minta maaf," Ujarnya.
"Aku berteriak padamu tadi. Aku minta maaf--" Pria itu menahan ucapannya sebentar untuk mengambil napas.
"Aku telah merusak buku jurnalmu,"
Air mataku lolos sekali lagi saat menyaksikan Justin mati matian menahan rahangnya yang mengeras sembari berucap.
"Aku juga minta maaf kalau kata-kata ku tadi menyakitkan."
Tangisanku semakin tumpah deras, kepalaku merunduk dalam. Berusaha menyembunyikan wajah berlinang air mata ku dengan untaian rambut .
"Kurasa aku cukup mabuk hingga dapat melakukan semua itu,
... aku yang salah."
Justin menuntaskan kalimatnya dengan suara yang sedikit bergetar.
Sekonyong-konyong aku yang sedari tadi menginginkan Justin menyadari kesalahannya. Dan saat pria itu telah sadar, aku malah merasa diriku begitu buruk. Sangat buruk hingga aku bahkan merasa malu barang untuk sekadar menatap wajahnya.
Ku tarik napasku dalam-dalam seraya berucap.
"Aku ingin kita berpisah,"
"Jangan temui aku lagi, dan aku akan menganggap kita tidak pernah bertemu." Tuturku tanpa menatap Justin.
Pria itu bergerak menyelipkan beberapa untaian rambutku ke belakang telinga.
"Kau bisa pikirkan lagi soal itu malam ini," Ujarnya dengan suara yang begitu lemah.
"Dan kau bisa lakukan apapun yang kau inginkan jika sudah merasa yakin,"
"Tapi kau harus tau." Justin mendongak menatap wajahku dalam, "Aku masih akan tetap sama seperti saat awal dimana kau terpaksa harus terseret dalam masalah pelarianku. Aku tetap tidak mau kau terluka, karena itu aku selalu ingin memastikan kau bersamaku." Tuturnya dengan wajah serius.
Justin beranjak berdiri dan mengeluarkan pakaian pakaian yang sempat ku masukkan asal ke dalam tas. Pria itu kembali merapikan pakaianku ke dalam lemari dan menaruh tas ku di tempat semula. Tak menunggu lama, ia kembali berlutut di hadapanku.
Pria itu mengambil selembar tissu dan bergerak pelan mengelap wajahku yang banjir air mata, tanganku langsung kilat menepisnya.
Bisa ku dengar pria itu yang kembali menghela napas pelan dan sekali lagi meraih selembar tissu baru, lantas menaruhnya tepat di atas telapak tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
GRAVITY •Jjk
FanfictionKim Hanna, wanita workaholic penggila uang itu mengambil langkah paling berani dalam hidupnya untuk menjadi backpacker. Menjelajah dunia dan meninggalkan seluruh ketenangan hidupnya di kota Seoul dalam rangka menyelesaikan projek besar buku karangan...