Part 6

50.2K 6.3K 1.1K
                                    

Dara masuk ke dalam rumahnya. Gadis itu bisa melihat jelas Papanya yang tengah duduk bersama Isteri dan juga anak tirinya di ruang tamu.

Dengan langkah besar, Dara duduk di salah satu kursi kosong dan menatap ke arah mereka dengan tatapan tajam namun tenang. "Kapan sampai?" tanya Dara.

"Tadi siang, Dara. Kamu dari mana?" tanya Ibu tiri Dara dengan lembut.

Dara memutar bola matanya malas. Gadis itu memilih beranjak tanpa menjawab pertanyaan Ibu tirinya.

"Dara, gak sopan." Ragil menatap Dara dengan tatapan tajamnya.

"Duduk."

Dara menghela napasnya. Gadis itu memilih duduk dengan tangan yang ia lipat di depan dadanya.

"Papa sama Mama—"

"Mama Dara cuman satu." Dara memotong ucapan Ragil.

"Oke! Papa sama isteri dan anak Papa, kita udah memutuskan buat tinggal di sini. Tapi dalam seminggu ini Papa harus ngurus perusahaan Papa dulu di Milan buat ngurus perpindahan ke cabang di sini."

Ragil melirik ke arah Isterinya. "Dan mulai sekarang, Isteri Papa sama anak Papa tinggal di sini. Minggu depan Papa usahakan tinggal di sini juga."

"Terserah, ini juga rumah Papa kok. Gak usah minta persetujuan Dara, karna Dara gak ada hak buat larang kalian." Dara beranjak. Gadis itu memilih masuk ke dalam kamarnya.

Ragil memijat keningnya pelan. Ini demi Dara, ia memutuskan pindah ke sini untuk Puterinya.

Ia sadar, selama ini, Dara tak pernah mendapatkan kasih sayang setelah perpisahan dirinya dengan Ibunya Dara.

"Mas, aku yakin cepat atau lambat, Dara pasti bakal nerima kamu lagi." Ayu—Sang Isteri mengusap bahu Ragil dengan pelan.

Ragil tersenyum dan mengusap punggung tangan Isterinya.

Reza, anak dari Ayu sedaritadi hanya diam menyimak pembicaraan. Umurnya satu tahun lebih tua dari Dara, itu artinya, dia adalah Abang tirinya Dara.

Di dalam kamarnya, Dara melempar tasnya ke lantai. Gadis itu duduk di lantai dan bersandar pada kasur, ia menangis.

"Yang Dara mau Mama sama Papa yang pulang. Bukan Papa sama keluarga baru Papa!" jerit Dara. Gadis itu menelusupkan wajahnya di antara lututnya yang tengah ia peluk.

Tangan Dara terulur meraih ponselnya. Gadis itu menatap layar dengan tatapan ragu.

Namun, setelahnya ia mencoba menghubungi seseorang yang sangat ia rindukan.

"Hallo, Dara? Apa kabar, Sayang? Kamu sehat?"

"Ma …." Bibir Dara bergetar.

"Pulang," sambung Dara masih bergetar.

Hening. Tak ada jawaban apapun yang Dara dengar di seberang sana. Dara mengusap air matanya pelan.

"Sayang, Jerman ke Indonesia itu bukan jarak yang dekat."

Setelah mendengar jawaban itu, Dara memilih mematikan ponselnya. Ia melempar ponselnya ke atas kasur.

***

Pagi harinya, Dara duduk di meja makan bersama Ragil, Ayu, dan juga Reza. Gadis itu terlihat enggan membuka suara sama sekali.

Sedaritadi, Dara hanya fokus memasukan suapan demi suapan ke dalam mulutnya.

"Reza bakal sekolah di sekolah kamu, Besok."

Dara sontak melirik ke arah Reza yang duduk di depannya. Cowok itu tersenyum tipis. Namun, Dara memilih membalasnya dengan senyum terpaksa.

Langit Dara [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang