Dara menuruni satu persatu anak tangga dengan tas di punggungnya. Gadis itu menatap ke arah Reza yang terlihat begitu kaget. "Lo mau ke mana, Dar?"
"Bukan urusan lo. Minggir!"
"Kekanakan tahu, gak?"
Dara yang awalnya berjalan melewati Reza, mendadak berhenti ketika suara cowok itu terdengar di telinganya.
Dara berbalik. "Lo ngomong sama gue?"
"Lo pikir?" Reza bertanya balik.
Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada. Mengangkat sebelah alisnya menatap ke arah Reza.
"Papa cuman mau perbaikin semuanya, Dar. Dia mau minta maaf sama lo, itu aja. Kenapa lo malah bersikap kayak gini?"
"Kenapa gue bersikap kayak gini? Karena lo gak ngerasain apa yang gue rasain. Lo ditinggal Bokap lo karena apa? Karena dia meninggal. Lah gue? Orang tua gue masih ada, lengkap malah. Tapi mereka gak pernah ada buat gue, Za! Enggak sekalipun."
"Lo anak yang orang tua lo anggap anugerah. Sedangkan gue? Gue cuman beban!" sambung Dara.
"Dan sekarang, dengan gampangnya Papa mau minta maaf sama gue setelah gue udah segede gini? Kenapa gak dari dulu? Kenapa enggak disaat gue butuh kasih sayang? Kenapa enggak saat gue butuh diantar ke sekolah sama dia, hm?"
Dara menarik napasnya pelan. "Kalau lo nanya, gue pengen baikan sama Papa atau enggak. Jelas gue pengen. Anak mana sih yang mau jauh gini sama orang tuanya? Gak ada, Za. Tapi gue gak mau jadi penghalang kebahagiaan dia lagi, Za." Setelah mengatakan itu, Dara berjalan menghampiri Reza dan menyerahkan kunci motor Dara padanya.
Kemudian, Dara memilih berjalan pergi meninggalkan rumahnya yang dulu terasa ramai, kemudian sepi, dan sekarang kembali ramai dengan orang berbeda yang mengisinya.
Dara menyetop taksi. Gadis itu naik dan memilih pergi meninggalkan kota Jakarta.
***
Langit mengetuk pintu rumah Dara dengan semangat. Saat itu juga, pintu rumah terbuka menampakan sosok pria yang tak pernah Langit jumpai sebelumnya.
Tangan Langit terulur mencium punggung tangannya. "Hallo, Om."
"Cari siapa?"
"Daranya ada, Om?"
Ragil, Pria itu memicingkan matanya menatap Langit. Langit yang sadar akan itu, memilih tercengir lebar. "Saya anak baik-baik kok, Om. Ya … walaupun bukan anak ustadz, tapi Papa saya baik kok. Om tenang aja, kalau nanti Om besanan sama Papa saya, Om gak akan kena gigit kok."
"Ada perlu apa sama Dara?" tanya Ragil tak menghiraukan candaan Langit.
Langit masih mempertahankan cengirannya. "Anak muda, Om. Masalah hati. Tapi, kalau dilihat-lihat Om mirip, ya?"
"Mirip Dara? Jelas, dia Anak saya."
"Bukan, Om."
"Terus?"
"Mirip calon mertua saya."
Sosok Reza keluar dari dalam rumah. Cowok itu menepuk pundak Ragil dengan tak sabaran. "Dara pergi lewat pintu belakang, Pa."
Langit tertawa, "Paling juga ke selokan nyari kepiting."
"Enggak! Dia bawa tas."
Langit diam beberapa saat. Cowok itu memberikan tempat makan berisikan udang balado pada Reza.
"E-eh, apa nih?" tanya Reza kaget.
Langit memilih mencium punggung tangan Ragil, dan menepuk pundak Reza beberapa kali. "Pamit, ya! Dadah Om!" teriak Langit kemudian berlari meninggalkan kawasan rumah Dara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Dara [End]
Teen FictionBahkan, hubungan yang awalnya baik-baik saja pun akan berubah tanpa pernah diminta, disadari, dan diharapkan. Kehadiran orang-orang baru di lingkungannya, akan membuat mereka lupa pada lingkungan lama yang pernah ia tempati juga. Setelah orang itu h...