17. SANDARAN HATI

546 48 73
                                    


AGAIN || SANDARAN HATI

.
.
.

|Dengarlah, dengarkan rintihan hatiku yang terus memanggilmu. Sapalah ia, meski hanya dengan satu kata.|

|Copyright, 25 Maret 2021|

.
.
.

BEBERAPA hari telah berlalu sejak kejadian hampir membuatnya terbunuh. Ify yang baru saja kembali dari rumah sakit menurunkan kakinya dari mobil. Manik karamelnya melirik ke atas, sinar bulan pertama nampak tak terlihat menarik di matanya-untuk pertama kalinya semenjak malam itu.

"Apa kamu yakin, salah satu dari kami tidak perlu menemanimu di sini untuk berjaga-jaga?" Salah satu orang yang mengantarnya pulang dari rumah sakit yang menjadi tempatnya di rawat setelah ditemukan oleh warga dalam keadaan pingsan beberapa hari lalu bertanya.

Ify menoleh, menatap wanita dengan pakaian dokter itu lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Terima kasih," gumamnya sembari membungkukkan tubuhnya dengan sedikit susah payah.

"Dek, kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk segera menghubungi kami," ucap dokter itu penuh perhatian sembari mengelus kepala Ify.

"Terima kasih, Dok." Ify menegakkan kembali tubuhnya lalu mengangguk samar. Ia berbalik kemudian dengan langkah tertatih ia berjalan ke arah gang yang akan mengantarkannya menuju rumah.

Dokter berusia 20 tahunan itu menatap lamat punggung Ify yang mulai menjauh. Rekannya yang masih berada di dalam mobil menekan klakson, memberi isyarat padanya untuk segera masuk.

"Kau bisa mengunjunginya lagi kalau kau mau, Let." Dokter itu mengangguk. Menoleh sejenak ke arah di mana Ify menghilang di balik tikungan dengan tatapan sulit artikan, ia pun akhirnya berbalik lalu masuk ke dalam mobil.

Sementara di waktu yang bersamaan, Ify berdiri terpaku di depan rumahnya yang nampak terlihat gelap dan suram. Pakaian rumah sakitnya ia remas pelan di bagian perut, dalam hati merasa bersyukur bahwa kehidupan di dalam sana terselamatkan. Matanya terpejam, merasakan hembusan angin yang terasa menusuk hingga tanpa sadar setetes air mata pun jatuh.

"Haruskah aku ... pergi lagi?" lirihnya putus asa.

Gadis berusia 17 tahun yang baru saja tertimpa nasib malang itu meremas kuat perutnya. Tak peduli jika gelenyar ngilu yang menyiksa kembali terasa. Mengabaikan rasa sakit di area pangkal pahanya yang sampai sekarang masih terbayang-bayang akan tusukan brutal beberapa kejantanan yang menghantam kewanitaannya, ia dengan tertatih bahkan terseok berjalan menuju rumahnya.

Bruk!

Ify terjatuh, tersandung kerikil tepat di teras rumahnya saat hendak menaiki tangga. Air matanya kembali jatuh, ia meringis tertahan sembari menggigit kuat bibirnya hingga berdarah. Dengan susah payah, ia bangkit meski tak sanggup berdiri.

"T-tolong ..." lirih Ify di iringi tangis yang mulai mengencang, bahunya bergetar hebat.

"S-sakit ... hiks!" Ia terisak, semakin kuat menggigit bibirnya, kedua tangannya yang semula memegang perutnya kini beralih ke lantai dan secara perlahan mulai bergerak menarik tubuhnya. Ia mengesot dengan kepala tertunduk dalam.

"Ma ... Pa ... Ify mau pulang ..." Ify merintih, memanggil kedua orang tuanya sembari terus berusaha untuk menggerakkan tubuhnya agar segera sampai menuju pintu.

𝐀𝐆𝐀𝐈𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang