77. TENTANG RASA

321 53 100
                                    


AGAIN || TENTANG RASA

.
.
.

[Seutas tali usang yang tergenggam itu secara perlahan memutuskan seratnya, terpisah hingga tautannya tak lagi sekuat saat aku pertama kali menggenggamnya.]

[Copyright, 26 September 2021]

.
.
.

RIO masih dengan posisinya. Tak sedikitpun bergerak meski hanya satu senti. Kepalanya tenggelam dalam lipatan kedua tangannya yang terlipat di lutut, erangan tertahan terus keluar dari mulutnya kala denyutan kuat di kepala semakin menyiksa. Ia tertekan namun, tak bisa berbuat banyak selain menahan.

Kilasan-kilasan kelam yang terus menghantui terus berputar bagaikan kaset rusak yang diputar berulang-ulang. Ia tenggelam, terkubur dalam kubangan kesengsaraan. Hatinya menjerit, memanggil siapa saja yang mau mendengarkan walau ia tahu hal itu tak akan mengubah apapun selain dirinya yang tertinggal sendirian dalam dekapan masa lalu yang menyedihkan.

Penyesalan yang selalu terpendam semakin bercokol di hati, membuat ia memaku dalam kesepian. Jurang neraka yang mengelilingi seolah menjeritkan namanya, memanggilnya untuk segera terjun dan bergabung dengan para pendosa lainnya. Rio tahu, inilah hukuman yang pantas untuk ia terima. Meski menyiksa namun, tak apa. Ia akan baik-baik saja walaupun jiwanya terus berkata tidak.

Larut dalam rasa yang penuh dengan asa, kepala yang tadinya tertunduk itu terangkat. Rio meringis, merasakan berat luar biasa akibat beban pikiran yang bertumpuk-tumpuk. Sedikit meringsut, ia memaksakan tubuhnya untuk bergerak ke arah laci nakas samping tempat tidurnya kemudian membuka salah satunya. Dengan terburu, ia mengambil semua botol obat yang senantiasa menemani hari-harinya kemudian mencari obat yang sedang ia butuhkan sekarang.

Enggak ada? Rio membatin panik, raut wajahnya yang gelisah begitu kentara disertai helaan napas yang mulai terengah-engah. Obatnya hilang, entah kemana.

“Kemana? Seharusnya ada di sini? Kemana obat gue?!“ tanyanya membuka semua laci nakasnya.

“Kenapa enggak ada?!“

Laki-laki itu mengeluarkan semua botol obat yang dimilikinya hingga berserakan di lantai. Masa bodoh kalau obat-obatnya yang sudah tertata rapih sesuai jenis dan dosis akan tertukar. Dalam pikirannya saat ini hanyalah obat yang ia cari, ia membutuhkannya. Sangat. Dan ia yakin, sebelumnya obatnya sudah ia taruh di laci tapi, kenapa hari ini tidak ada? Kemana obatnya pergi? Apakah dirinya lupa? Atau memang ada orang yang sengaja mengambilnya? Tapi, siapa? Siapa yang berani mengambil obatnya tanpa seizinnya? Tidakkah orang itu tahu? Bahwa ia sangat membutuhkan obat itu.

“Sial!“ umpat Rio mendorong keras laci nakasnya hingga bunyi gedebuk terdengar.

Ia menunduk, mencari obat lain diantara banyaknya obat yang memiliki fungsi sama, yaitu penenang. Setelah gusar mencari-cari akhirnya obat yang diinginkannya ia temukan, dengan segera ia mengambil beberapa lalu memasukkan sekitar sepuluh sampai belasan pil obat ke dalam mulutnya. Tak peduli jika ia akan kena overdosis yang jelas, ketenangan dalam dirinya harus segera dikendalikan.

Bruk!

Rio terjatuh. Tergeletak di lantai dengan posisi miring sembari memeluk perut dan dadanya yang kini melilit bagaikan diikat oleh tali besar. Terasa menyesakkan hingga membuatnya meringis sakit. Efek obat yang baru saja ia telan dan ya, karena ia menelannya melebihi dosis yang dibutuhkan alhasil tak heran kalau dirinya kini kesakitan.

𝐀𝐆𝐀𝐈𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang