92. RENCANA

323 49 128
                                    


AGAIN || RENCANA

.
.
.

[Tidak ada yang tahu kemana takdir akan menuntun kita. Selagi jalannya masih bisa dilalui, sejauh apa pun dan setajam apa pun rintangan, jika memang sudah ditakdirkan maka akan sampai juga ke tempat tujuan.]

[Copyright, 07 Oktober 2021]

.
.
.

SETELAH malam itu, Alifya tak lagi melihat Rio. Entah kemana perginya laki-laki itu namun, hal tak menyurutkan tekadnya untuk menjauh. Ia tak peduli dan juga tak mau peduli apalagi sampai repot-repot mencari tahu kabarnya. Baginya, dengan menghilangnya Elderio, sudah lebih dari cukup untuknya hidup dengan damai.

“Mo!“

Panggilan ceria dari Aguero yang sedang berjalan menuju dapur mengalihkan atensi Alifya yang saat ini sedang mencuci sayuran. Hari ini ia akan membuat sup ayam, capcay serta nasi liwet.

“Hei, sayang. Udah mandi?“ Alifya menolehkan kepala lalu berjongkok saat Aguero menarik ujung bajunya.

“Sini, coba Mama lihat,“ Alifya meneliti penampilan manis Aguero dengan balutan sweater warna lemon dan celana jeans selutut.

Ih, kacamatanya lucu banget,“ gemas Alifya kala melihat kaca mata merah jambu yang hanya bingkainya saja bertengger di hidung mancung putranya.

“Dapet dari siapa, nih?“ tanya Alifya dengan suara khas anak-anak.

Aguero tersenyum lebar hingga kedua matanya menyipit.

“Dari Om Yio!“ Aguero berseru riang seraya menunjuk kacamatanya dengan kedua jari telunjuk.

Alifya yang mendengar itu terkejut, menatap lekat Aguero yang masih mempertahankan senyumnya dan baru ia sadari, putranya ini memang mirip dengan Rio. Entah mengapa, tiba-tiba tubuhnya menegang dengan perasaan yang mulai was-was.

“K-kapan? Kok, Mama enggak tahu?“ tanya Alifya mencoba mengendalikan emosinya yang terasa memuncak.

“Emayin. Om Yio temput, Elo.“ Aguero dengan polosnya bercerita, menatap tanpa dosa Alifya yang kini terdiam.

“Kok, Mama enggak dikasih tahu?“ tanya Alifya yang seketika membuat Aguero menutup mulutnya dengan kedua tangan, ekspresi wajahnya yang seperti ketahuan berbuat salah terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Namun, Alifya yang tahan akan kegemasan Aguero hanya memincingkan mata curiga.

“Om ... Yio bilang ... Elo idak oyeh bilang, Mo.“ Aguero mulai cerita dengan kedua tangan masih tepat berada di mulut sehingga suaranya terdengar sedikit tidak jelas.

“Ero ’kan, harus selalu jujur sama Mama. Kenapa Ero nurut sama Om Rio?“ Alifya mencoba untuk menahan kesalnya. Bagaimana tidak? Rio menjemput Aguero dan membawanya main tanpa sepengetahuannya.

“Om Yio baik,“ gumam Aguero menatap takut Mamanya yang kini menghembuskan napas kasar.

“Om Rio baik tapi, akan jauh lebih baik kalau Om Rio minta izin ke Mama. Kalau kamu kenapa-napa, gimana?“ Alifya mulai mengomel, menatap Aguero yang menundukkan kepala.

“Aaf, Mo. Elo talah,“ lirih Aguero dengan suara serak, menahan tangis.

Alifya menghela napas seraya membuang muka lalu setelahnya kembali menatap Aguero yang kini mulai berkaca-kaca. Ya ampun, anaknya ini cengeng sekali. Entah mirip siapa namun, jika memang Rio adalah Ayahnya—menurut kecurigaan Zen—sepertinya laki-laki itu bukanlah tipe orang yang gampang menangis. Kalau bikin orang menangis sih, jangan ditanya. Batinnya menggerutu.

𝐀𝐆𝐀𝐈𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang