Gavin Mahendra

2K 175 2
                                    

Gavin Mahendra, putra tunggal dari Ardan Mahendra dan Ranti Mahendra, bekerja di RS ABDI International sebagai dokter bedah saraf dan juga menjadi dosen di salah satu Universitas ternama di Jakarta.

Hari ini Gavin sangat gugup, karena mulai semester ini mulai mengajar di salah satu kelas yang terdapat gadis pujaannya, gadis yang sudah membuatnya jatuh cinta sejak pertama kali melihatnya, gadis yang sudah berhasil membawa lari semua hatinya.

Gavin berjalan menuju kelas, di setiap langkah kakinya, dia berusaha meyakinkan dirinya untuk bersikap biasa dan tidak gugup, namun semakin dekat dengan kelas gadisnya, semakin tak terkendali detak jantungnya, membuat Gavin berhenti sejenak untuk menghirup nafas panjang dan menghembuskan perlahan agar lebih rileks.

Baru kali ini Gavin jatuh cinta begitu dalamnya pada seorang gadis, jangankan melihat langsung wajahnya, hanya mendengar namanya disebut saja jantung Gavin sudah kebat kebit tak karuan, sungguh benar - benar dahsyat pesona gadis itu untuk Gavin.

Sampai di depan kelas, Gavin perlahan membuka pintu kelas dan memasukinya, kelas yang tadinya ramai kini menjadi sepi karena kedatangannya.

"Selamat pagi." Sapa Gavin, pada mahasiswa dan mahasiswi.

"Pagi." Jawab mereka serempak.

"Sekarang jamnya Bu Arum ya?" Tanya Gavin, karena memang sekarang harusnya Bu Arum yang mengisi, tapi beliau meminta tukar jam mengajar dengannya.

"Iya pak."

"Bu Arum minta tukar jam sama saya, karena beliau ada urusan, hanya pertemuan kali ini saja, untuk pertemuan selanjutnya sesuai jadwal." Kata Gavin menjelaskan.

"Oke pak."

"Gila ganteng banget pak Gavin, auranya benar - benar bikin jiwa jomblo gue meronta."  bisik – bisik dari para mahasiswinya masih bisa Gavin dengar, namun dia sudah terbiasa mendengar pujian seperti itu jadi, Gavin bersikap biasa saja, akan jadi luar biasa jika gadisnya yang mengatakan itu.

Mata Gavin memindai seisi ruangan, mencari keberadaan gadisnya dan ya, dia menemukan gadisnya, dia duduk di pojok barisan paling belakang.

Gavin menatapnya dan pada saat yang bersamaan gadis itu juga menatap Gavin, hanya sesaat karena gadisnya langsung mengalihkan pandangannya, pada buku yang berada di depannya. Seperti itu saja benar - benar membuat hati Gavin menghangat, tatapannya sukses membuat jantung Gavin yang sudah mulai tenang kembali kebat kebit tak karuan.

“Oke, sebelum perkuliahan dimulai sesi perkenalan saja dulu ya, walaupun saya yakin rekan - rekan semuanya mungkin sebagian besar sudah mengenal saya. Perkenalkan, saya Gavin Mahendra biasa di panggil Gavin, umur 27 tahun, selain mengajar saya juga bekerja di RS ABDI International, apa ada yang mau ditanyakan?" kata Gavin setelah bisa menguasai diri.

"Sudah punya pacar apa belum pak? mau daftar dong kalau belum." Tanya salah satu mahasiswi, Gavin belum mengenal namanya, karena ini pertama kalinya Gavin mengajar di kelas itu.

"Alhamdulillah belum, kalau ada maunya cari calon istri langsung nggak usah pacaran." Jawab Gavin dengan sedikit tersenyum dan tak lupa melirik gadisnya, yang masih asyik dengan buku di depannya, tak seperti gadis lainnya yang selalu menatap Gavin dengan tatapan memuja, gadisnya amat sangat cuek membuat Gavin makin penasaran ingin segera mendekatinya dan juga memilikinya.

"Daftar dong pak Gavin." Gavin kembali tersenyum, tak berniat menjawabnya lagi, tapi jika yang bicara itu gadisnya, sudah pasti dengan senang hati Gavin akan menjawab 'Boleh', tapi sayangnya bukan gadisnya yang mengatakan itu.

"Ada yang mau di tanyakan lagi?" kata Gavin lagi.

"Nomor Wa pak." Kata mahasiswi lainnya yang duduknya tak terlalu jauh dari mahasiswi tadi.

"Nomor saya, nanti saya kasih ke PJ saja, kalau ada penting bisa lewat PJ untuk di sampaikan ke saya, baik kalau begitu saya absen dulu ya." Jawab Gavin yang langsung membuka jurnal absensi.

"Abella Dwi Dharma.”

"Hadir."

"Alfa Putra Wijaya."

"Hadir.”

"Bagas Perwira."

"Hadir."

"...."

Gavin mengabsen satu persatu sesuai urutan, sambil mengenal mereka, kini giliran gadis yang selalu membuatnya penasaran dari awal jumpa saat Ospek dulu.

"Forza Shanum A."

"Hadir." Gavin kembali menatapnya sekilas dan melanjutkan absensi hingga selesai.

"Baik semua sudah saya absen ya, penanggung jawab kelas atau ketua kelas di sini siapa?" tanya Gavin dan tak lama seorang mahasiswa mengangkat tangannya.

"Saya pak." Jawabnya.

"Sekarang, saya mau PJ matkul saya. Apa anda bisa menunjuk salah satu teman di kelas ini yang bisa menjadi PJ saya?” tanya Gavin.

"Forza saja Fa." Kata seseorang yang duduk di samping gadisnya, membuat Gavin tersenyum bahagia dalam hati.

"Nggak Fa, Abell saja dia sudah berharap tuh." Tolak gadisnya, membuat Gavin mendengus.

"Saya setuju." Dengan cepat Gavin langsung menyetujui, agar penanggung jawab kelas juga setuju.

"Loh pak, maaf biasanya PJ laki - laki dan yang pilih PJ ketua kelas, saya nggak berminat jadi PJ.” Protes Forza dengan cepat, membuat Gavin makin gemas.

Coba kita sudah official Za, aku cubit pipimu yang menggemaskan itu, tentu saja itu hanya bisa Gavin katakan dalam hatinya.

"Itu biasanya ‘kan, kalau sekarang saya mau yang nggak biasa, saya mau anda yang menjadi PJ matkul saya Nona Forza Shanum." Jawab Gavin tegas, tak ingin di bantah.

"Nggak bisa gitu pak, saya nggak tahu juga kerjaan PJ apa saja." Lagi gadisnya protes.

"Nanti bisa ditanyakan sama ketua kelas apa tugas dari PJ." Kata Gavin lagi tak mau kalah, jelas Gavin tak mau menghilangkan kesempatan emas yang sudah di depan mata, dengan cara ini Gavin berharap bisa lebih dekat dengan gadisnya.

"Tapi pak ... " Gadisnya kembali akan protes, namun ucapannya keburu di potong ketua kelas.

"Sudah lah, terima saja apa Za, kalau debat terus kapan perkuliahan dimulai." Kata si ketua kelas.

Good job, Gavin tepuk tangan penuh kemenangan dalam hati, melihat gadisnya mencebikkan bibirnya, membuat Gavin makin gemas melihatnya.

"Saya setuju pak, Forza jadi PJ pak Gavin, karena dia paling cerdas di sini." Kata Alfa, sang ketua kelas.

"Baik kalau begitu sudah deal ya PJ saya siapa, kita mulai perkuliahannya." Kata Gavin pada akhirnya.

Gavin memulai perkuliahannya, menjelaskan materi di depan kelas, Forza mencatat apa saja yang menurutnya penting untuk di catat dari materi yang Gavin sampaikan.

Entah suatu kebetulan atau apa, saat Forza sedang menatap Gavin, tak sengaja mata mereka saling bertemu karena Gavin memang sedang menatapnya, hingga beberapa saat mereka saling menatap, sampai Forza yang mengakhiri terlebih dahulu.

Forza merasakan ada yang aneh dengan jantungnya, hanya karena tatapan dari Gavin, Forza merasa menemukan sesuatu yang selama ini dia cari, tapi entah apa karena baru kali ini Forza merasakannya.

“Ciee, yang saling tatap.” Bisik Abell sambil menyenggol tangan Forza, yang di senggol hanya melirik dengan malas, Forza masih kesal dengan Abell.

“Pertemuan untuk hari ini saya cukupkan sampai di sini, sampai jumpa di pertemuan selanjutnya, untuk Nona Forza Shanum saya tunggu di ruangan saya, terima kasih dan selamat pagi.” Kata Gavin mengakhiri perkuliahan.

“Pagi pak.” Jawab mahasiswa dan mahasiswinya serempak, Gavin berjalan keluar meninggalkan kelas, sedangkan Forza membereskan buku, karena harus segera menyusul Gavin ke ruangannya.

“Kantin yuk Za.” Ajak Nadia dan Forza menggeleng.

“Kenapa?” tanya Adit.

“Kalian lupa? gue ‘kan diminta ke ruangan pak Gavin.” Jawab Forza.

“Cieee buru – buru amat langsung mau kesana.” Goda Abell yang sukses membuatnya mendapat jitakan di kepalanya.

“Berisik lu Bell, ini semua gara – gara lu ya.” Kata Forza, “Nad, nitip tas gue.” lanjutnya lagi sambil berjalan keluar kalas tanpa mendengar jawaban apapun lagi dari para sahabatnya.
Forza berjalan menuju ruangan Gavin yang dia sendiri tak tahu di sebelah mana, karena jujur saja Forza memang jarang memasuki ruang dosen.

“Forza ya?” tanya seseorang yang baru keluar dari salah satu ruangan, Forza menoleh dan melihat pria yang dia tahu, salah satu dosen dan dekan termuda di Universitasnya, Pradhika Abhimanyu atau biasa di panggil pak Dhika. Forza  tersenyum dan mengangguk, dalam hatinya bertanya dari mana dekannya itu tahu namanya, karena dekannya itu belum pernah mengajar kelasnya.

“Cari siapa Za?” tanya Dhika.

“Cari ruangan pak Gavin, maaf di mana ya pak?” tanya Forza berusaha sesopan mungkin.

“Oh, cari ruangan pak Gavin, kamu lurus saja nanti belok kanan pintu ketiga.” Jawab Dhika sambil tersenyum, senyum manis berhias lesung pipi.

Seingat Forza, Abell sering bercerita jika Pak Dekan di depannya ini tak pernah tersenyum, dari ke 4 dosen most wanted, Dhika urutan pertama yang pelit senyum, urutan kedua ada Gavin, ke tiga ada Dimas dan terakhir Reno, mereka berempat bersahabat.

“Terima kasih pak, kalau begitu saya permisi ke ruangan pak Gavin.” Kata Forza berpamitan pada Dhika, yang di jawab dengan anggukkan kepala.

Forza berjalan sesuai arahan dari Dhika, dan dia pun mengetuk pintu ruangan saat sudah berada di depannya.

Tok tok tok

“Masuk.” Forza perlahan membuka pintu ruangan, setelah mendengar suara dari dalam yang memintanya untuk masuk.

“Pagi pak.” Sapa Forza saat sudah berada di dalam ruangan, Gavin tersenyum dan mempersilahkan untuk duduk dengan isyarat tangannya, Forza pun duduk di kursi depan meja kerja Gavin.

“Pagi, Forza Shanum, emmm saya enaknya panggil Forza atau Shanum?”

“Forza nggak apa pak.”

“Oke, Forza ini nanti kamu copy untuk materi minggu depan ya dan saya minta nomor WhatsAp kamu.” Gavin menyerahkan silabus dan materi untuk pertemuan yang akan datang, juga tak lupa ponselnya.

“Nomor WhatsAp, buat apa pak?” tanya Forza bingung.

“Kamu lupa ya, kamu kan PJ saya jadi wajib saya minta nomor kamu, kalau ada apa – apa saya ‘kan hubunginya kamu, bukan ketua kelas.” Jelas Gavin dan Forza mengangguk paham.

“Oh ya, baik pak.” Forza menerima ponsel Gavin dan mulai mencatat nomornya.

“Ini pak.” Gavin menerima ponselnya dan mendial nomor yang baru saja di save membuat ponsel Forza bergetar.

“Oke, itu barusan yang misscall nomor saya, jangan lupa di save ya.” Ujar Gavin.

“Baik pak, kalau begitu saya permisi.” Gavin hanya mengangguk dan tersenyum, senyum yang manis seperti Dhika, yang tak pernah di tunjukkan pada wanita mana pun, kecuali keluarganya dan Forza tentunya.

Setelah berpamitan, Forza kembali ke kelasnya untuk mengambil tas yang ia titipkan pada Nadia.

“Gimana Za?” tanya Abell, saat Forza sudah sampai di kelas dan duduk di samping Nadia.

“Gimana apanya?” tanya Forza.

“Pak Gavin, panggil lu ada apa?” tanya Abell lagi.

“Oh, ini suruh di copy, buat pertemuan nanti.” Jawab Forza sambil memberikan kertas yang ia bawa.

“Cuman ini?” Forza mengangguk.

“Udah ah, gue mau ke perpus.” Forza mengambil tasnya.

“Lu sudah kita tungguin, malah mau ke perpus, nggak bisa ya Za kita ke kantin dulu baru lu ke perpus, lagian kita mau di traktir sama Alfa, ya ga fa?” kata Abell.

“Iya Za, yuk ke kantin.” Kata Alfa.

“Kalau ditraktir, mana bisa gue tolak.” Jawab Forza sambil tersenyum, memamerkan deretan giginya, mereka berlima pun berjalan menuju kantin.

💕💕💕
Terima kasih
Yang sudah memberi Votement
😊😘

Love Forza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang