Pagi ini aku terbangun karena mendengar suara berisik dari luar, juga aroma masakan yang membuat perutku keroncongan.
Aku keluar dari kamar berjalan menuju dapur, betapa terkejutnya aku melihat wanita yang sudah satu minggu mengurung diri di kamar saat ini dengan lihainya sedang memainkan spatula di atas wajan.
Aku mendekat dan berdiri di sampingnya, melihat wanitaku yang ternyata sedang membuat nasi goreng, “Pagi, sudah bangun? Maaf kalau berisik, aku lapar jadi bikin nasi goreng.” Katanya menoleh sebentar ke arahku.
Aku mengangguk dan tersenyum, “Pagi juga, nggak ko penasaran saja mencium aroma masakan padahal bude, tante, mamah atau bibi jam segini pasti belum datang makanya aku keluar untuk melihatnya.” kataku.
Wanitaku tersenyum, “Jadi juga nasi gorengnya, ini sarapan dulu aku harap rasanya nggak hancur.” Wanitaku memberikan satu porsi nasi goreng yang ia buat.
“Terima kasih Za, rasanya pasti enak.” Aku menerima satu piring nasi goreng darinya dan tersenyum, aku bersyukur dia sudah kembali terlihat ceria, sudah mau tersenyum walau sangat terlihat jika senyumnya di paksakan.
Kami berjalan menuju meja makan, “kenapa nggak minta aku saja yang bikin nasi goreng, aku nggak mau kamu kecapean Za.” ya aku memang tak mau wanitaku yang sudah satu minggu ini menjadi tanggung jawabku kecapean yang akan berimbas juga pada janin di dalam perutnya.
“Nggak papa cuman nasi goreng nggak akan cape kok.” jawabnya, dan aku hanya mengangguk.
Pagi ini menurutku sangat indah karena ini pagi pertama aku bisa mendengarnya banyak bicara san tersenyum, bisa makan satu meja dengannya dan sarapan yang aku makan buatan wanitaku langsung, benar - benar indah.
♡♡♡♡
Hari ini jadwalnya Wanitaku untuk memeriksakan kandungannya, Aku sudah bersiap untuk mengantarnya.
Aku ketuk pintu kamarnya, perlahan aku buka dan memasukinya namun tidak aku temukan di kamar atau kamar mandi, “Forza?” aku panggil namanya namun tidak juga ada jawaban.
Aku turun ke lantai bawah sambil terus memanggil namanya, tetap sama tidak ada jawaban, akhirnya aku cari di taman belakang sebelum aku memanggil namanya aku sudah terlebih dahulu melihatnya sedang duduk di Gazebo, lega rasanya.
“Za kamu ternyata di sini aku nyari kamu kemana – mana.” kataku sambil berjalan mendekatinya.
“Maaf, tiba – tiba aku ingin duduk di sini.” jawabnya dengan berhias senyum manisnya.
“Iya nggak papa ko, Kita mau berangkat sekarang atau nanti?”
“Sekarang, ayo.” Aku mengangguk dan ikut berjalan di belakangnya, aku tatap punggung wanita yang sangat aku cintai, entah sampai kapan aku bisa menaklukkan hatinya, membuatnya mau menerima kehadiranku.
Sepanjang perjalanan Forza diam membisu, menatap ke luar jendela entah apa yang sedang ia pikirkan, aku mencoba mengawali pembicaraan untuk memecahkan kesunyian, “Aku sudah menghubungi dokter Rangga, memberi tahu kalau hari ini kamu akan datang Za.”
“Iya terima kasih.”
“Kamu kenapa? Apa ada yang sakit?”
Dia menggeleng, “Nggak kok, aku cuman mikirin saja, apa kata orang kalau melihat kamu nganterin aku, bisa nggak kita ganti Rs saja, aku yakin saat aku akan melahirkan kamu pasti nemenin aku walaupun aku menolaknya kamu nggak akan dengerin aku.”
“Nggak usah pikirin kata orang lain, hidup kita yang jalanin Za biarian saja orang mau berkata apa, aku memang akan menemani kamu saat lahiran nanti boleh atau tidak aku akan tetap di samping kamu, tenang saja dokter Rangga atau yang lainnya akan lihat nama bed atau gelang baby tetap memakai nama kamu dan Almarhum Gavin, aku tidak akan mengumumkan pernikahan kita sebelum aku ijab qobul atas namamu dan juga sebelum kamu siap menerima aku.” Jelasku agar wanita di sampingku ini tidak terlalu banyak beban pikiran.
20 menit perjalanan akhirnya sampai di Rs aku langsung memarkirkan mobil di bassment khusus pejabat Rs, aku turun terlebih dahulu dari mobil menunggu Forza turun namun hampir 5 menit aku menunggu belum juga ada tanda – tanda dia akan turun.
Aku buka pintu mobil, aku lihat wanitaku ini sedang menangis. Lagi dan lagi air mata itu selalu keluar membuatku geram, ”Kenapa nangis?” Dan dia hanya menggelengkan kepalanya, aku usap air matanya, “Jangan menangis, ada aku Za percayalah aku akan selalu ada untuk kamu, ayo keluar pasti dokter Rangga sudah menunggu kita.” Aku ulurkan tanganku, dan dia menerimanya.
Kami berjalan berdampingan di sepanjang koridor Rumah Sakit menuju Poli kebidanan, setiap orang yang mengenal kami melihat dengan keheranan, ada juga yang menatap wanitaku ini dengan sangat iba mungkin karena sedang hamil tua di tinggal suaminya untuk selamanya.
Aku menoleh, aku lihat wanitaku ini menunduk dan aku tahu hatinya sedang sangat kacau entah karena dia ingat saat – saat bersama Gavin atau karena malu berjalan denganku yang membuatnya menjadi pusat perhatian.
“Forza!.” Aku dan Forza menoleh ke samping kananku disana ada dokter Lily yang berjalan mendekat.
“Apa kabar Forza, saya rindu sama kamu, rindu saat – saat bersama di IGD.”
“Alhamdulillah baik dok, iya saya juga rasanya sudah ingin menjalani koass lagi.” Wanitaku menjawab dengan tersenyum, senyum yang sungguh dia paksakan.
“Ini ada apa ke Rs? Kamu belum waktunya partus kan Za?”
“Belum dok, saya mau bertemu dokter Rangga check up saja.”
“Alhamdulillah, dokter Dhika nitip Forza ya jaga dengan baik” dokter Lily tersenyum, “Kalau begitu saya permisi dulu, mari dokter Dhika dan Forza ingat jaga kesehatan.” Aku mengangguk saat dokter Lily pamit undur diri.
“Apa dokter Lily tahu kalau kita tinggal satu rumah dan sudah sah secara hukum?” tanya wanitaku.
“Nggak ada yang tahu Za selain orang tuaku, orang tua Gavin, Om Braga, Dimas dan Reno aku sudah janji sama kamu Za nggak akan aku langgar, udah yu jalan lagi.” Ajakku.
Sampai di depan Poli antrean pasien sudah lumayan banyak, aku meminta wanitaku untuk duduk terlebih dahulu, aku mendekat ke arah meja perawat.
“Pak Dirut, apa ada yang bisa saya bantu?” kata salah satu suster.
“Saya mau bertemu dokter Rangga sudah bikin janji juga, chekup kehamilan atas nama Ny. Forza Mahendra.” Kataku, padahal ingin sekali menyebutnya Ny. Forza Abhimanyu.
“Ny. Forza Mahendra bisa langsung masuk setelah ini pak tadi dokter Rangga sudah berpesan.”
“Oke, terima kasih.” Aku kembali berjalan ke arah wanitaku yang sedang duduk bersandar sambil memainkan ponselnya, aku duduk di sampingnya.
“Setelah ini kita masuk Za.”
“Apa nggak sebaiknya aku saja yang masuk sendirian, aku nggak mau orang – orang bergosip.”
“Sudah aku bilang nggak usah dengarin kata orang lain, aku akan tetap di samping kamu Za, aku juga ingin melihat perkembangan bayimu.” Jawabku tersenyum menatapnya.
“Tapi aku malu.”
“Malu kenapa? Aku suamimu Za.”
“Hanya di atas kertas, kita hanya sah secara hukum bukan agama.”
“Apa maksud kamu karena kita bukan muhrim? Kalau begitu apa bedanya dengan dokter Rangga? Anggap saja aku seperti dokter Rangga, dokter yang akan memeriksamu, aku akan tetap masuk ke dalam Za.” Aku tetap memaksa untuk masuk ke dalam.
“Ny. Forza Mahendra, silakan masuk.” Panggil suster.
“Ayo masuk, mau jalan sendiri atau aku gendong?” kataku karena wanitaku masih diam saja.
“Aku masih punya 2 kaki.” Dia langsung berdiri dan berjalan ke ruangan dokter Rangga, aku tersenyum melihat tingkahnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Forza (End)
RomanceProses Revisi Cinta, bagi Forza kata itu hanya penuh kesakitan hingga ia tak ingin mengenal apa itu cinta, ia tak akan sanggup jika harus merasakan pedihnya cinta seperti yang Bundanya rasakan. Namun semua berubah saat kehadiran seorang pria yang de...