Keributan di tengah Duka

1.2K 114 0
                                    

Gavin menemani Forza di dalam mobil jenazah yang membawa Bunda Fatma. Dia terus menatap Forza yang duduk di sampingnya, menatap keranda di depannya.

Dada Gavin terasa sesak dan nyeri melihat gadis yang ia cintai tengah bersedih, Gavin merangkul bahunya dan mengusapnya dengan lembut, mencoba memberinya kekuatan, "Ikhlas dan kamu harus kuat, kamu nggak sendirian, karena mas janji akan selalu ada untuk kamu." Gavin mengecup puncak kepala Forza, sebisa mungkin dia menahan air mata, jangan sampai ikut menangis di depan gadisnya.

Iringan mobil jenazah membelah jalanan ibu kota yang saat ini gerimis. Mobil sudah sampai di kediaman Forza, para tetangga terlihat berlarian mendekat, mungkin mereka terkejut melihat ada mobil jenazah yang datang.

“Nak Forza ada apa ini?” tanya bu Mia, tetangga Forza.

“Maafin bunda ya bu, kalau bunda ada salah.” kata Forza mencoba setegar mungkin, Gavin  merangkul bahunya lagi dan Forza menatap Gavin, Gavin tersenyum kecil meyakinkan Forza, kalau dia pasti bisa menghadapi semua ini.

“Apa maksud kamu nak?” tanya bu Mia lagi. Forza belum sempat menjawab, tapi keranda jenazah sudah di keluarkan dari mobil dan di bawa masuk ke dalam rumah.

“Innalilahi wainnailahirojiun, bu Fatma.” Bu Mia ikut terisak menangis dan memeluk Forza, yang sukses membuatnya kembali menangis. Tak lama Pak RT dan warga yang lainnya juga mulai berdatangan.

Gavin membawa Forza masuk ke dalam rumah, mendudukkannya di samping jenazah bunda Fatma.

“Maaf nak Forza, rencananya ibu mau di makamkan dimana? biar bapak dan yang lain ke lokasi menyiapkan semuanya.” kata Pak RT mendekati Forza.

“Forza juga bingung pak RT.” Jawab Forza, dia pun menatap mamah Ranti dan Om Braga.

“Di tempat Ayah dan Ibunya di makamkan saja pak.” Kata Om Braga mengambil keputusan.

“Baik kalau begitu saya permisi, saya akan segera mengurusnya.” Jawab pak Rt.

“Pak RT, mungkin di makaminnya besok pagi saja, karena sekarang sudah jam lima lewat.” kata Om Braga lagi.

“Baik pak, saya permisi dulu mari.”

Rumah Forza begitu ramai, papah Ardan- papahnya Gavin juga sudah datang begitu di  beri kabar kalau bunda Fatma berpulang, padahal papah Ardan sedang kunjungan ke semarang, beliau memang lebih sibuk dari Om Braga, karena sudah menjabat sebagai Kapolda. Papah Ardan terpaksa pergi kunjungan sendirian, karena mamah Ranti ingin menemani bunda Fatma.

Para tetangga juga banyak yang mengaji untuk Alm. Bunda Fatma, Forza masih setia duduk di samping jenazah, bersama Fahri yang duduk di kursi roda.

“Forza!” panggil seseorang, yang ternyata Abell sahabatnya yang berjalan masuk di ikuti Alfa, Nadia dan Adit.

“Hai, kalian tahu dari mana?” tanya Forza.

“Pak Dhika kasih kabar ke anak BEM dan sampai sama kita semua lewat group, yang sabar ya Za, ikhlasin bunda.” Abell dan Nadia memeluk Forza dan menangis membuat Forza ikut menangis.

“Terima kasih, kalian sudah datang, maaf kalau bunda ada salah sama kalian.”

“Bunda nggak ada salah sama kita Za, justru kita yang selalu merepoti bunda. Yang sabar ya, lu punya kita semua.” Alfa memeluk Forza membuat Gavin mendengus kesal, dan hal itu di ketahui sama Dimas.

“Nggak usah lebay, Alfa cuman meluk ngasih kekuatan, gitu aja cemburu.” Bisik Dimas di telinga Gavin.

“Berisik!” Gavin berjalan mendekati Forza.

“Sore Pak Gavin.” Sapa Adit.

“Sudah petang Dit, kalian nggak mau baca Yasin?” kata Gavin pada mereka.

“Mau pak, kita wudhu dulu.” Gavin mengangguk.

Semakin malam, semakin banyak tetangga yang berdatangan, mereka bergantian membacakan Yasin untuk Almarhumah. Hendrik Adhitama, Ayah dari Forza pun ikut hadir ke rumah duka.

“Firza.” Firza mendongakkan kepalanya, melihat Ayahnya yang datang, Gavin yang duduk di samping Firza bersama tiga sahabatnya hanya memperhatikan saja.

“Mau apa anda datang kesini, Puas sekarang hah! Puas, sudah buat bunda pergi untuk selamanya!” bentak Firza.

“Firza, Ayah....”

“Anda bukan Ayah saya Tuan Hendrik Adhitama, karena Ayah saya sudah mati 8 tahun yang lalu, saat dia pergi meninggalkan bunda yang sedang mengandung.” Bentak Firza, Firza berdiri dan langsung memukuli Ayahnya. Gavin langsung berdiri menarik Firza, di bantu yang lainnya, Firza yang membabi buta meluapkan amarahnya.

“Firza hentikan!” Suara Forza menggema di ruangan, Firzapun berhenti memukuli Ayahnya, segera Gavin tarik agar menjauh dari ayahnya, dari atas tangga Forza turun ke bawah, dengan tatapan yang sangat tajam, menahan amarahnya

“Orang itu yang menyebabkan bunda meninggal kak, Firza nggak bisa diam lagi Firza ....”

“Diam Firza!” Sentak Forza lagi, ruangan sunyi sepi tak ada yang bersuara.

“Tapi kak.”

“Kakak bilang diam Firza!” Firza pun akhirnya diam.

Forza menatap Ayahnya, “Ada perlu apa anda datang kesini Tuan Hendrik Adhitama? Apa anda mau membuat pesta? merayakan wanita itu, yang selalu anda sakiti kini sudah terbujur kaku?” Forza menunjuk jenazah Bundanya, menekan setiap kalimat yang dia ucapkan, suaranya terdengar penuh kesakitan.

“Forza, Ayah ....”

“Jika tidak ada yang penting, saya mohon keluar dari rumah ini, saya sedang berduka dan saya sedang tidak ingin berdebat.” Jawab Forza tegas.

“Forza maafin Ayah nak, Ayah mohon.” Ayah Forza sampai berlutut.

“Kamu bukan Ayahnya kak Forza, kamu orang jahat.” Teriak Fahri dari lantai atas, dia berusaha turun ke bawah dengan susah payah menggunakan kruk, karena kaki kirinya masih belum bisa untuk berjalan. Dhika mendekat dan menggendong Fahri membawanya ke hadapan Forza.

“Jangan dekati Kak Forza, aku bisa marah kalau kak Forza menangis, jangan buat kak Forza nangis, nanti bunda sedih. Pergi, jangan kesini lagi.” Teriak Fahri membuat semua orang tak lagi bisa menahan rasa harunya.

“Ayah ingin bersama kalian nak.” beliau berjalan mendekati Fahri dan Forza.

“Pergi! Jangan mendekat." Fahri menatap Gavin, "Abang Gavin sudah janji, katanya mau jaga kakak, sekarang usir dia bang!” Fahri menunjuk Ayahnya, Gavin pun mendekat setelah sebelumnya meminta Reno untuk menjaga Firza, jangan sampai dia kembali memukuli Ayahnya.

“Abang akan jagain kalian semua jagoan.” Gavin mengelus kepala Fahri.

“Tuan Hendrik Adhitama, mohon maaf jika saya lancang ikut campur, tapi saya mohon sebaiknya anda meninggalkan rumah ini, biarkan anak – anak anda berduka untuk bundanya. Anda tidak perlu khawatir karena saya, istri saya dan yang lainnya ada disini untuk mereka, jadi saya mohon dengan sangat tinggalkan rumah ini demi mereka.” Kata papah Ardan yang tiba - tiba buka suara.

“Baik, sekarang saya akan pergi, Forza Firza Fahri Ayah pasti akan datang kembali untuk kalian. Maaf, karena Ayah sudah menyakiti kalian.” beliau membalikkan badannya dan berjalan keluar rumah.

“Fahri kok kamu bangun sih, ayo tidur lagi.” Forza yang tadi memang sedang menidurkan Fahri, bertanya kenapa adiknya ini bangun.

“Nggak mau kak, Fahri takut, biasanya bunda peluk Fahri.” Air mata Forza kembali luruh.

“Fahri tidur sama abang saja ya, abang gendong, kita temani bunda di sini rame – rame.” Kata Gavin sambil menggendong Fahri.

“Fahri mau.” Jawab Fahri.

“Za, sebaiknya kamu makan dulu, mamah sudah pesan makanan tadi, ajak teman – teman kamu juga.” Kata mamah Ranti.

“Forza nggak lapar mah.”

“Kamu harus makan Forza, nak sini kalian sahabatnya Forza ‘kan? Tolong, kalian temani Forza makan ya.” Pinta mamah pada ke empat sahabat Forza.

“Iya tante, ayo Za.” Nadia menarik tangan Forza, membawanya ke meja makan, sedangkan Gavin duduk di samping jenazah, memangku Fahri sambil mengusap rambutnya agar dia tidur.

Malam semakin larut tak terasa Gavin pun terserang rasa kantuk, hingga tak terasa di tertidur sambil duduk memangku Fahri.

“Mas.” Gavin merasakan ada yang menyentuh bahunya, dia pun membuka matanya.

“Hmm, kenapa Za?” tanya Gavin Saat aku melihat Forza ada di depannya.

“Kamu pasti cape, sini Fahri sama aku saja.” Kata Forza yang akan mengambil alih Fahri.

“Nggak ko, biarin saja, dia pulas banget tidurnya nanti malah kebangun.” Jawab Gavin.

“Mas pindah saja ke kamar aku, tidur di sana sama Fahri.” Kata Forza lagi.

“Nggak apa Za di sini saja, nemenin kamu dan bunda.” Gavin tersenyum menatapnya.

“Forza ambil selimut dulu.” Kata Forza yang langsung berdiri, kembali masuk ke kamar dan tak lama datang membawa selimut.

“Pakai selimut mas, biar nggak dingin.” Forza memakaikan selimut pada Gavin juga Fahri, karena Fahri masih berada di pangkuannya, Forza kemudian duduk di samping Gavin.

“Kamu mau aku buatin teh, kopi atau apa mas?” tanya Forza lagi.

“Nggak usah Za, aku nggak pengen. Kamu duduk saja, mamah papah tidur di atas?” tanya Gavin dan Forza mengangguk.

“Iyah di kamar bunda, Om Braga sama tante Arum pulang, katanya besok pagi kesini.” Gavin mengangguk.

Gavin melirik ke samping, menatap Forza yang terlihat kedinginan, dia mengulurkan tangan di belakang tubuh Forza, membuat Forza berjingkat kaget.

“Eh, kenapa mas?”

“Sini mendekat, kamu dinginkan? Sini, kita satu selimut bertiga. Masih muat kok, asal kamu mendekat lagi.” Kata Gavin.

“Nggak usah mas, buat mas Gavin dan Fahri saja.”

“Za, nggak ada penolakan, sini.” Tangan Gavin menarik pinggang Forza agar lebih dekat lagi dengannya dan tangan Gavin yang satunya memakaikan selimut, dalam posisi masih duduk memangku Fahri yang terlelap tidur.

“Kaya gini ‘kan enak, mas ngerasanya kaya suami istri dan anak.” Kata Gavin mencoba melucu.

“Mas ngomong apaan sih.” Forza mencubit tangan Gavin yang memeluk pinggangnya dan menatap Gavin, tatapan yang membuat jantung Gavin berdegup kencang.

“Mas tahu, kalau mas tampan, kenapa? Sudah mulai naksir sama mas ya?” Gavin mengerlingkan mata kanannya dan tersenyum jail.

Forza memukul pelan lengan Gavin, “Anda terlalu percaya diri pak dosen.” katanya sambil memalingkan wajahnya dan Gavin sempat melihatnya tersenyum.

“Cuman sama kamu Za.” Kata Gavin.

“Mas, kalau pengajuan cuti kuliah prosesnya susah nggak?” Gavin terkejut mendengar pertanyaan Forza.

“Kamu mau cuti?” tanya Gavin.

“Iya mas, aku mesti ngurus Fahri dan juga nyari kerja, tabungan aku buat balikin uang perawatan bunda ke mas sepertinya kurang. Tadi bunda habis berapa mas?” Gavin mendengus kesal.

“Kamu apaan sih Za bahas begituan, nggak usah di pikirin dan satu lagi kamu nggak boleh cuti kuliah, kamu harus bisa lulus tepat waktu.” Kata Gavin.

“Forza nggak bisa mas.”

“Kamu belum terima formulir beasiswa dari Dhika?” tanya Gavin, tiba – tiba dia teringat rencana mamahnya yang meminta tolong Dhika, agar Forza seakan - akan mendapat beasiswa, padahal itu semua dari mamahnya.

“Beasiswa? Belum mas.”

“Mungkin, keburu kita semua sibuk nenangin kamu, Iya ada beasiswa dan mas ngajuin nama kamu sama Dhika. Kamu harus ambil beasiswa itu, berusaha buat dapetin dan lanjutin kuliah, jangan cuti – cuti segala, urusan Fahri kamu nggak usah bingung, karena mamah sama tante Arum akan bergantian antar jemput Fahri, kalau mereka sibuk ada mas atau mas bisa bayar pengasuh dan sopir pribadi.” Kata Gavin.

“Kamu ini terlalu berlebihan mas.” Jawab Forza sambil cemberut.

“Nggak ada yang berlebihan kalau menyangkut kamu Za.”

“Udah ah aku ngantuk, aku tidur bentar ya mas.” Forza menyandarkan tubuhnya ke tembok dan mulai memejamkan matanya.

Gavin menatap wajah cantik Forza dan perlahan menarik tubuhnya, agar bersandar di dada Gavin, bersebelahan dengan Fahri. Gavin mencium kening Forza dan juga Fahri.

“Mas janji, akan jaga kalian dan bahagiain kalian. Bunda tenang saja ya, restui Gavin agar bisa segera meluluhkan hati anak bunda yang cantik ini.” Gavin semakin mempererat pelukannya pada Forza.

Love Forza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang