Makan Malam

1.1K 117 0
                                    

Sabtu siang Forza sedang berlatih persiapan untuk penampilannya nanti saat ulang tahun Universitas, ia dilatih langsung sama dosen di Fakultas kesenian yang terkenal killernya.

“Forza, saya rasa kamu sudah sangat jago memainkan piano jadi nggak perlu tiap hari latihan, kamu hanya perlu berlatih vocal sedikit lagi, agar suara kamu bisa maksimal. Kamu hebat dan saya baru menemukan gadis berbakat sepertimu, kenapa nggak masuk ke kesenian saja?”

“Tadinya juga mau ambil kesenian pak, tapi Ayah meminta saya untuk masuk kedokteran.”

“Sayang banget, suara kamu dan kepiawaian kamu memainkan alat musik bisa buat kamu terkenal juga.”

Ceklek

Pintu ruang latihan terbuka dan masuklah Dhika bersama Gavin.

“Gimana pak, suara Forza?” Tanya Dhika.

“Ini sih, suara emas pak dekan, nggak perlu di ragukan lagi.”

“Syukurlah kalau begitu, pilihan saya nggak salah. Benarkan Za suara kamu bagus.” Kata Dhika.

"Jadinya, bawain lagu apa Za?" tanya Gavin.

"Rahasia." jawab Forza, dia masih kesal dengan Gavin.

"Kenapa?" tanya Gavin.

"Nggak apa, pak Dhika duetnya nanti sama siapa pak?” tanya Forza pada Dhika.

“Ada, nanti kamu akan tahu saat di panggung.” jawab Dhika.

“Kita nggak latihan bareng pak? Atau seenggaknya saat gladi resik biar saya bisa ngimbangin.”

“Nggak usah, dia udah tahu suara kamu Za, jadi kamu latihan part kamu saja oke.”

“Kalau nggak kompak dan bikin malu jangan salahin saya loh pak.”

“Beres Za, saya nggak akan salahin kamu, oya untuk pakaian nanti kamu ganti dua kali. Pak Gavin yang akan bawa kamu fitting bajunya di butik.”

“Banyak amat pak sampai dua kali ganti, satu saja nggak cukup?”

“Nggak lah Za, ‘kan dua kali tampil, jadi biar berbeda.”

“Senin kamu ke butik ya Za, Jam berapanya kamu diskusikan sama pak Gavin.”

Forza mengangguk, “Baik pak.”

“Ya sudah, kami permisi dulu pak, Forza berlatih yang serius ya.”

“Siap pak dekan.”

Dhika dan Gavin keluar dari ruang latihan dan menuju ke ruangan Gavin karena sudah di tunggu Reno dan Dimas.

“Lama amat sih kalian.” Sembur Reno.

“Sorry, habis liat cem ceman Gavin latihan.” Jawab Dhika.

“Jadi, duet sama dia Vin?” tanya Dimas.

“Jadilah, tapi Forza belum tahu kalau teman duetnya gue.” Jawab Gavin.

“Kenapa?” tanya Dimas lagi.

“Gavin mau kasih surprise sama Forza, Eh Vin lu sudah jadian sama dia?” kata Reno.

“Belum, gue sudah nembak dia sih, tapi belum dia jawab.” Jawab Gavin lesu.

“Dia beneran istimewa ya Vin, nggak liat Fisik dan isi dompet lu kaya kebanyakan cewek.”

“Ya makanya, gue sabar nunggu dia, yang penting sekarang, gue sudah dekat sama Forza dan keluarganya, masalah jawaban saat gue nembak, nggak masalah kalau mesti nunggu lagi, perlahan tapi pasti gue bakal miliki dia seutuhnya.” Jawab Gavin yakin.

“Semangat brother.”

●●●

Malam ini Gavin menjemput Forza dan keluarganya untuk makan malam bersama kedua orang tuanya.


Tok tok tok

Ceklek

“Eh, bang Gavin sudah datang, bunda ini bang Gavin sudah datang!”

“Masuk dulu nak Gavin nungguin Forza lagi ganti baju, dia baru pulang manggung.” Gavin mengangguk dan masuk ke dalam, duduk di ruang tamu di temani Bunda Fatma, Firza dan Fahri.

“Kak Forza lama amat sih bunda, nanti keburu malam Fahri ngantuk.”

“Sabar sayang, ‘kan kakak baru saja pulang, tuh dia datang.”

Gavin mendongak ke arah tangga, melihat Forza yang begitu cantik, malam ini mengenakan dress di bawah lutut, berwarna hitam polos tanpa lengan, sangat kontras dengan kulit putihnya, rambutnya di biarkan tergerai, make up yang terlihat natural namun sangat pas untuk wajah cantiknya, bibirnya dipoles berwarna nude, benar – benar membuat Gavin terpesona.

“Ayo bang berangkat.” Ajak Fahri.

“Bang Gavin ayo kok bengong sih.” Tepukan tangan Firza di pundak Gavin membuatnya sadar dari lamunan.

“Ya, kenapa Firza?”

“Yaelah, abang kaget ya liat kak Forza pakai dress? sampai segitunya kaya orang kesambet aja haha.”

“Firza, nggak boleh gitu, ayo nak Gavin kita berangkat sekarang, itu Forza sudah siap.”

“Baik Bunda.”

Di dalam mobil Gavin dan Forza masih terdiam tak terlibat perbincangan, hanya menjadi pendengar kedua adiknya yang sedang bersenda gurau. Hingga mobil memasuki restoran, tempat akan di adakannya makan malam.

Mereka berlima memasuki restoran, Bunda Fatma, Fahri dan Firza berjalan di depan sedangkan Gavin beserta Forza di belakang.

“Za.”

“Ya”

“Kamu cantik.”

“Baru tahu ya?”

“Sudah dari lama, tapi malam ini kamu lebih cantik dari biasanya.”

“Terima kasih, mas juga malam ini terlihat lebih tampan.” Gavin tersenyum manis sekali, membuat jantung Forza kembali berdetak makin kencang.

Mereka telah sampai di meja yang sudah ada Mamah Ranti dan suaminya.

“Hai, Fatma apa kabar?”

“Alhamduilah baik”

“Oya perkenalkan ini papahnya Gavin, mas ini Fatma yang dari dulu sering aku ceritain dan Fatma ini mas Ardan.”

“Fatma.”

“Ardan, saya senang akhirnya istri saya bisa bertemu lagi denganmu bu Fatma.”

“Fatma, panggil saja saya Fatma. Saya juga senang dan bersyukur sekali bisa kembali bertemu dengan Ranti sahabat kecilku. Ini anak – anak saya, yang ini Firza, yang kecil Fahri dan yang gadis Forza, ayo sayang cium tangan Tante Ranti dan Om Ardan.”

Mereka bertiga pun bergantian menyalami Ranti dan Ardan bergantian.

“Jangan panggil tante dong Fat, biarkan mereka panggil aku mamah dan mas Ardan papah, agar kita bisa merasakan punya banyak anak.”

“Firza, ini pertemuan pertama kita ya nak, mamah nggak nyangka kamu sangat tampan, seperti abang Gavin dulu.”

“Sekarang, Gavin sudah nggak tampan mah?” protes Gavin manja membuat yang lain terkekeh, begitu juga dengan Forza.

“Tampan, tapi udah berkurang, habisnya kamu nyebelin jarang pulang dan sibuk kerja. Firza kapan – kapan main ke rumah mamah ya, ajak Fahri sekalian.”

“Insya Allah tan, eh mah.”

“Fatma, aku mau kasih kamu kejutan, sebentar lagi kejutannya datang.”

“Kejutan apa Ran?”

“Tunggu sebentar, ah itu dia.”

Semua mata melihat ke arah yang di tunjuk Ranti. Seorang Pria dengan seragam Polisi berjalan menuju meja Ranti.

“Apa kabar mbak Fatma, yang selalu menjadi kesayangan adik Braga?” sapa pak polisi yang ternyata Braga adik dari mamah Ranti.

“Braga? Ini benaran kamu dik?” Fatma mendekat dan menyentuh bahu Braga yang lebih tinggi darinya.

“Iya mbak ini adikmu yang sudah puluhan tahun mencarimu, mbak ke mana saja aku rindu mbak.” Braga menangis dan memeluk Fatma begitu eratnya.

“Maaf mbak, pergi tanpa pamit atau meninggalkan pesan untuk kamu dan Ranti, mbak juga merindukan kamu dik, karena kamu adik mbak satu – satunya yang paling tampan dan sekarang sudah menjadi Pak Kapolres, jadi jangan nangis nanti kalau bawahan kamu ada yang liat malu – maluin.”

“Kapolres juga manusia mbak, apalagi bertemu sama orang yang disayang setelah puluhan tahun terpisah. Mbak tahu nggak, aku sampe nggak bisa tidur, nggak sabar pengen segera ketemu saat di kasih tahu mbak Ranti, kalau mbak Ranti bertemu sama mbak.”

“Ekhem udah ya kangen – kangenannya, disini ada manusia loh bukan patung.” Dehem mamah Ranti membuat mereka berdua melepaskan pelukannya.

“Mba Ranti merusak suasana saja.” Jawab Braga kesal.

“Mereka bertiga anak mba Fatma?” lanjutnya melirik ke arah Forza, Firza dan Fahri.

“Iya dik, kenalin ini anak pertamaku namanya Forza, yang ini anak kedua aku namanya Firza dan yang kecil ini anak ketiga aku namanya Fahri. Cium tangan Om Braga sayang.” Mereka bertiga pun bergantian menyalami Braga.

“Anakmu cantik dan tampan – tampan mbak, mana suami mbak?”

“Suami aku ....”

“Ayah jahat om, jangan ingatin Bunda soal Ayah karena Fahri nggak suka liat Bunda nangis.” Potong Fahri sebelum bundanya menjawab.

“Fahri nggak boleh begitu sama Om sayang.” Tegur bunda Fatma.

“Fahri nggak suka bunda sedih kalau ingat Ayah, Fahri ....” jawab Fahri lagi.

“Hei, jagoan abang yang nanti besar mau jadi polisi, tenang saja bunda nggak akan sedih ‘kan ada kamu yang selalu jagain bunda. Om Braga nanti bakal wujudin impian Fahri jadi polisi, lihat seragamnya Om Braga nanti kalau besar Fahri juga bakal pakai seragam seperti itu.” Kata Gavin sengaja memotong pembicaraan Fahri.

“Beneran Om?”

“Ya sayang, kamu sekolah yang pintar ya nanti Om ajarin biar bisa jadi Polisi.”

“Oke.”

“Ya sudah kita makan sekarang.”

Mereka makan dengan di selingi obrolan – obrolan mengenang masa kecil Fatma, Ranti dan juga Braga.

“Gavin, Forza ajak Firza dan Fahri bermain gih mau ada yang mamah obrolin penting.”

“Ya mah, yuk Firza Fahri ikut abang.”

“Mbak Fatma, maaf kalau tadi Braga sudah bertanya sesuatu yang menyakitkan buat mbak.” Braga meminta maaf karena dia benar – benar nggak tahu, kisah hidup Fatma dan juga suaminya.

“Nggak apa Braga, mbak juga sudah nggak peduli lagi sama dia, karena yang sekarang mbak pikirkan hanya anak – anak saja.”

“Fatma, aku dengar cerita dari Gavin apa yang dia lihat waktu itu, kenapa kamu nggak lapor aja ke polisi?”

“Lapor? Emangnya mbak Fatma mengalami KDRT?” Tanya Braga dan Fatma mengangguk.

“Pria macam apa yang berani main tangan pada wanita, benar – benar biadab. Kalau mbak Fatma butuh bantuan buat jeblosin dia ke penjara Braga siap bantu mbak.”

“Nggak usah, mbak juga udah lupain semuanya. Ran apa aku boleh minta tolong sama kamu?”
“Pasti Fat, minta tolong apa?”

“Tolong jika aku nggak ada umur, tolong jagain anak – anak aku Ran, walaupun aku tahu Forza mampu, karena selama ini dialah yang paling hebat, melindungi dan juga memenuhi kebutuhan aku dan adik – adiknya, dia tulang punggung pengganti Ayahnya. Tapi tetap saja, dia gadis yang rapuh, yang selalu membutuhkan bahu dan pelukan untuk menenangkannya, sekuat apapun dia di hadapanku, dia tetap selalu menangis di dalam kesendiriannya. Ran tolong beri dia pelukan saat dia rapuh, di sini kami tidak mempunyai siapa – siapa.” Fatma menunduk dan menangis, Ranti mendekat dan memeluknya.

“Kamu ngomong apa sih Fat, kita akan menua bersama melihat cucu kita lahir, kamu masih ingatkan kalau Gavin begitu mencintai Forza, sampai dia rela mencintai dalam diam selama dua tahun lebih. Apa kamu nggak mau lihat Gavin dan Forza menikah dan mempunyai anak?” kata Ranti.

“Aku ingin sekali melihatnya Ran, tapi entah kenapa aku merasa, kalau nggak lama lagi bakal meninggalkan mereka.” Fatma kembali mentitikan air matanya.

“Mbak jangan bilang begitu, Braga baru saja bertemu sama mbak, jadi mbak Fatma jangan ngomong kaya gitu lagi ya.” kata Braga, dia ikut memeluk Fatma.

“Aku ajak kamu makan malam, bukan buat sedih begini Fat, aku ngajak ke sini karena mau meminta Forza untuk kami jadikan menantu, aku dan mas Ardan ingin melamar Forza Fat.” Ranti mengungkapkan niatnya melamar Forza untuk Gavin.

“Melamar?” cicit Fatma yang di angguki Ranti.

“Aku tahu Forza masih trauma karena melihat pernikahanmu, dia juga belum memikirkan menikah ataupun kebahagiaan dia sendiri, tapi aku sudah nggak sabar untuk mengikatnya Fat, aku yakin di dalam hati Forza juga sudah ada rasa untuk Gavin, tapi ia enggan mengakuinya. Aku mohon Fat, jangan tolak lamaranku, izinkan aku menjadikan Forza menantuku, aku janji akan membahagiakan dia seperti anak aku sendiri.” ujar Ranti.

“Aku senang Fat, kamu mau menjadikan Forza bagian dari keluargamu, tapi aku nggak bisa memutuskan, karena semuanya tergantung Forza, dia yang akan menjalani rumah tangga.” jawab Fatma.

“Urusan Forza nanti biar aku yang ngomong, yang penting kamu sudah kasih aku izin.”

“Iya silahkan.” Fatma tersenyum.

“Bunda, Fahri ngantuk.” Tiba -tiba Fahri datang dan memeluk bunda Fatma.

“Kamu ngantuk nak? Sini Om Braga gendong, Om pengen gendong kamu nak dulu Om selalu di gendong Bunda loh.” Kata Braga merentangkan kedua tangannya.

“Iya bun?” tanya Fahri.

“Iya sayang.” Fatma mengangguk dan Fahri pun mendekat ke arah Braga untuk di gendong.

“Ayah!” panggil seorang anak gadis cantik pada Ayahnya.

“Hai princess Ayah, akhirnya datang juga.” kata Braga.

“Ayah gendong siapa?” tanya gadis kecil itu yang terus menatap Fahri.

“Ini mas Fahri, anaknya Bude Fatma, mbak Fatma ini anak ke dua Braga namanya Arin, cium tangan Bude nak.” Arin pun mendekat dan mencium tangan Fatma.

“Dan ini Arum istri aku mbak, Arum ini mbak Fatma yang aku ceritain itu.” jelas Braga pada istrinya.

“Apa kabar mbak Fatma, senang bertemu dengan mbak Fatma.” Arum menyalami tangan bunda Fatma dan juga cipika cipiki.

“Alhamdulilah baik, mbak juga senang bisa bertemu denganmu dik Arum.” jawab Fatma.

“Fahri, kakak cari ternyata kamu sudah kesini.” Tegur Firza yang berjalan mendekat di ikuti Forza dan Gavin.

“Adikmu ngantuk kak jadi kesini, Firza ini tante Arum istrinya Om Braga salim sayang.” Kata bunda Fatma.

“Kalau yang ini anak pertamaku Forza, Forza ini tante Arum salim sayang.”

“Cantik dan tampan – tampan anak mbak Fatma, Mbak Ranti ini ko namanya sama ya, kaya cewek yang di taksir bang Gavin.” Arum teringat nama gadis yang sedang di incar keponakannya itu.

“Emang satu orang tante.” Gavin melirik Forza yang hanya menundukan kepalanya.

“Oalah, jadi kamu naksir anaknya mbak Fatma toh. Dunia sempit sekali ya Vin.” jawab Arum.

“Bunda pulang.” Rengek Fahri.

“Iya nak kita pulang, kamu turun dulu dari Om dong ‘kan berat Om-nya, mas Ardan, Ranti, Braga dan dik Arum kami pamit pulang dulu ya Fahri udah rewel. Terima kasih atas undangan makan malamnya.” Pamit Fatma.

“Sama – sama Fatma, kalau aku lagi nggak dinas sepertinya kita mesti adakan kumpul – kumpul lagi seperti ini.” Kata Ardan.

“Insya Allah mas, anak – anak pamit dulu, baru kita pulang.” titah Fatma pada ke tga anaknya.

“Kami pamit dulu Mah, Pah, Om dan Tante.” kata Forza.

“Iyah sayang.”

“Gavin, bawa mobilnya nggak usah ngebut ya, ingat kamu membawa orang yang sangat berharga buat Om dan mamah kamu.” kata Braga mengingatkan.

“Siap Om.” jawab Gavin.

Mereka semua keluar restoran dan memasuki mobil, sementara di dalam restoran.

“Aku nggak nyangka, hidup mbak Fatma begitu menyakitkan, rasanya saat ini juga Braga ingin mencari suaminya dan menghajarnya.” Braga sangat emosi saat tahu suami Fatma sudah menyakiti Fatma, wanita yang sudah seperti kakak kandungnya sendiri.

“Mbak juga nggak nyangka Ga, kenapa suaminya tega memilih wanita lain demi membesarkan perusahaannya. Padahal perusahaan Ayah mulai bangkrut karena dia yang kelola dan sekarang dengan kurang ajarnya dia mau menjual rumah peninggalan Ayah satu – satunya.” Kata Ranti kesal.

“Mbak, sepertinya kita mesti bantu perekonomian mbak Fatma, apalagi Forza kuliah kedokteran yang pastinya butuh banyak biaya.” kata Braga.

“Jangankan kita Ga, suami Fatma tiap bulan pasti kirim uang, tapi gadis itu dengan tegas menolaknya, bahkan mentransfer balik semua uangnya.” jawab Ranti, mengingat cerita dari Gavin dan Fatma.

“Kalau gitu, langsung lewat mbak Fatma saja mbak.” kata Arum.

“Nggak bisa Rum, karena Fatma hanya bergantung dari Forza kalau tiba – tiba Fatma punya uang pasti Forza curiga.”

“Braga kasian mbak, Braga ingat waktu dulu kita susah dan tangan mbak Fatma yang pertama memberikan pertolongan untuk kita, mempertemukan kita dengan Ayah dan Ibu yang menganggap kita anak seperti Mbak Fatma, nggak ada yang di bedain. Memangnya Forza kerja apa mba?”

“Dia jadi penyanyi di beberapa Cafe, ngajar les bahasa inggris, ngajar les piano dan biola, jadi penerjemah, kadang juga jadi endorsment.” jelas Ranti.

“Gavin nggak salah suka sama Forza mbak, dia gadis yang kuat.” kata Arum lagi.

“Ya, makanya mbak nggak mau melepaskan Forza, dia harus jadi menantu mbak, setidaknya dengan cara itu mbak bisa balas budi sama Fatma.”

“Sebenarnya, ada cara buat bantuin Fatma mah.” Kata Ardan - papah Gavin tiba – tiba.

“Apa?” tanya Ranti.

“Kita mesti lewat kampus dan sekolah, minta tolong Dhika agar Forza dapat keringanan biaya kuliah. Maksud papah kita yang bayar biaya kuliahnya tapi jangan sampai Forza tahu, biar dia taunya Forza dapat beasiswa, toh Forza juga anaknya pintar jadi dia nggak akan curiga, kita minta tolong Dhika selaku dekan buat memberikan Formulir beasiswa palsu, buat formalitas saja agar Forza nggak curiga. Begitu juga untuk Firza dan Fahri, kita lewat sekolahnya langsung.” jelas Ardan panjang lebar.

“Braga setuju tuh mas, mungkin pakai cara kaya gitu saja mbak, jadi uang hasil kerja Forza bisa di pakai untuk kebutuhan sehari – hari”

“Ya nanti coba mbak bicara sama Dhika, sekarang pulang yu udah malam.” kata Ranti.

Love Forza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang