Alvand Putra Mahendra

1.6K 138 2
                                    

Ruangan ini terasa sangat sepi, semua orang sudah pamit pulang hanya tinggal aku sendirian yang menemani wanitaku. Aku membuka ponselku mencari aplikasi Alquran digital yang biasa aku baca.

Aku membaca ayat suci Alquran di samping wanitaku entah sudah berapa surat yang aku baca hingga aku mendengar suara ringkihan kesakitan. Aku menoleh dan ternyata itu suara wanitaku yang sudah siuman dan berusaha untuk bangun.

“Kamu sudah bangun Za? Mau ngapain? Kenapa nggak bilang aku, kamu jangan banyak gerak dulu jahitannya masih sangat baru Za.” Cecarku.

“Jahitan?” wanitaku menyentuh perutnya yang sudah nggak buncit lagi, ”Bayiku?” dia menatapku.

“Ada di ruang neonatal belum di bawa kemari karena kamu belum siuman, aku akan minta suster membawanya kemari, dia sangat tampan Za.” Aku tersenyum padanya.

Saat aku akan keluar pintu rawat inap terbuka, dokter Rangga beserta 2 suster masuk ke dalam dan aku meminta salah satu suster untuk membawa Baby Al.

“Hai Forza, bagaimana keadaan kamu sekarang?” sapa dr. Rangga pada wanitaku.

“Alhamdulillah baik dok, terima kasih sudah menyelamatkan bayi saya.”

“Sama – sama inikan sudah menjadi tugas saya Za, Selamat ya sekarang sudah menjadi seorang Ibu.” kata dr. Rangga, Suster memeriksa TTV wanitaku juga jahitan di perutnya.

“Terima kasih dok.”

“Semuanya bagus, kalau begitu saya permisi dulu, mari dokter Dhika.” Aku mengangguk.
Tak lama baby Al datang bersama 2 suster yang satu menggendong Baby Al dan yang satu mendorong box, aku segera menerima Baby Al dan menggendongnya, “Terima kasih ya sus.” Kataku.

“Sama – sama dok, Ibu Forza jangan lupa nanti IMD ya, apa mau saya bantu sekarang?”

“Nggak usah sus nanti saja dia baru siuman, kalian boleh pergi.” Kataku.

Setelah kepergian suster aku mendekati bed wanitaku dan meletakan Baby Al di sampingnya, aku duduk di kursi samping bed, “Untuk sementara kaya gini dulu ya, nanti kalau sudah bisa duduk baru gendong Baby Al.” Kataku yang di anggukinya.

Dia menatap bayi tampan di sampingnya dan tersenyum sangat manis sekali membuat jantungku berdegup, lalu dia menoleh ke arahku. “Terima kasih.” Katanya.

“Untuk?”

“Semuanya.”

“Ini sudah kewajibanku Za nggak usah berterima kasih, aku hampir saja mati berdiri saat dengar kamu jatuh dan pendarahan, kenapa bisa jatuh hm?” tanyaku pelan sambil menatap wajah cantiknya yang saat ini berhias senyuman.

“Aku mau duduk di Gazebo saat jalan ke sana aku ke peleset, pavingnya basah dan ternyata licin ya sudah aku nyungsep.” Jawabnya sambil nyengir membuatku gemas.

“Lain kali harus lebih hati – hati ya aku nggak mau kamu kenapa – napa Za.”

“Iya maaf karena sudah ceroboh, aku haus pengin minum.”

“Kamu tadi bius total Za, kamu belum kentut nanti nunggu kentut dulu.”

“Gimana aku mau kentut kalau kamu ada di sini.”

“Emangnya kenapa? Dari tadi kamu nahan kentut?” dan diapun mengangguk pelan.

“Ya ampun Za, tinggal kentut saja kenapa sih, jangan di tahan bahaya Za, kamu calon dokter loh, kentut kan buat pertanda post-operative ileus  atau enggak.” Omelku pada wanitaku.

“Aku kan malu, gimana kalau bau.”

“Malu kayak sama siapa saja, aku suami kamu Za, setelah masa nifas kamu berakhir aku akan ijab qobul atas nama kamu, jadi biasakan semuanya, aku nggak akan protes atau marah Za, suara kentut kamu akan terdengar indah seperti suara nada, aromanya bagiku bukan bau tapi wangi khas istriku, jadi jangan di tahan biar kamu cepat minum, oke?” dia pun mengangguk, benar – benar aku di buat gemas olehnya.

Love Forza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang