Perhatian Gavin

1.3K 130 0
                                    

Gavin masih duduk manis menunggu gadisnya turun dari lantai dua, dia masih menatap sinis tamu yang tak tahu diri, karena asal masuk dan berteriak di rumah orang, jika saja gue sudah jadi menantu di rumah ini, sudah pasti gue usir dia, batin Gavin.

Gavin memang terlalu percaya diri, jika dia bisa mendapatkan Forza, awalnya Gavin memang masih ingin pendekatan terlebih dahulu, baru mengutarakan perasaannya pada Forza, namun melihat makin banyak pria yang berpotensi menjadi saingannya dan juga Forza yang terlalu pintar menebak perasaan Gavin, akhirnya Gavin memberanikan diri untuk bicara langsung pada Forza.

Sudah terlanjur juga Forza tahu perasaannya, maka sudah Gavin putuskan untuk makin gencar mendekatinya, agar tak ada lagi celah untuk pria mana pun yang berusaha mendekati gadisnya.

“Berangkat sekarang yuk Bay.” Suara Forza, membuyarkan lamunan Gavin, dia terpesona saat melihat gadisnya berjalan menuruni tangga demi tangga, Gavin benar – benar kembali jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya pada gadis yang sama.

Gadisnya terlihat sangat cantik menggunakan dress, ini pertama kalinya Gavin melihat gadisnya terlihat sangat feminime, biasanya dia terlihat tomboy.

“Bunda, Forza berangkat dulu, pak Gavin Forza tinggal ya, Assalamualaikum.” Forza mencium tangan Bundanya, dan tersenyum ke arah Gavin yang masih diam membeku menatapnya, jantung Gavin sudah jungkir balik tak karuan di buatnya.

“Waalaikum salam.”

Setelah gadisnya keluar, Gavin pamit undur diri pada bunda gadisnya.

“Kalau begitu, Gavin juga pamit ya bu, mau siap – siap ngesift.” Gavin mencium punggung tangan bucamernya, alias bunda calon mertua, bolehlah ya dia sudah menganggapnya calon mertua, walau perjuangannya untuk mendapatkan hati gadisnya masih panjang, berharap saja dulu siapa tahu jadi kenyataan.

“Iya hati – hati di jalan nak Gavin, kalau ada waktu main lagi ya.”

“Insya Allah bu, Gavin pamit Assalamualaikum.”

“Waalaikumsallam.”

Jam 7 malam sebelum berangkat ke RS, Gavin sengaja melipir ke Cafe D&G tempat dimana gadis pujaan hatinya akan performen. Dengan memakai topi dan kaca mata hitam Gavin yakin gadisnya tak akan mengenalinya, Gavin memasuki Cafe dan memilih duduk paling pojok agar bisa leluasa memandang gadisnya nanti saat  performen.

Tak lama team Forza naik ke atas panggung, mulai menyapa pengunjung, tapi di atas panggung Forza tak terlihat, hanya ada Ubay temannya yang tadi menjemputnya ke rumah sedang mencoba gitarnya. Sudah 2 lagu di nyanyikan tapi Forza belum juga terlihat, hingga lampu tiba – tiba saja padam dan tak lama mulai terdengar suara gesekan Biola yang sangat merdu, di depan sana Gavin melihat gadis dengan dress selutut berwarna tosca, rambut yang di biarkan tergerai dengan jepit rambut di sisi kanannya yang makin mempercantik penampilannya. Berjalan perlahan sambil terus menggesekan Biolanya, berbarengan dengan suara seorang pria yang sedang melamar kekasihnya.

Gavin benar – benar terpesona melihat penampilan gadisnya yang lain dari  biasanya, dia begitu anggun dan sangat cantik. Dengan diam – diam Gavin memotret gadisnya menggunakan ponsel, sungguh gadisnya tampak sangat sempurna di mata Gavin, dia benar – benar membuat semua orang menatap dengan kagum.

Gavin melirik jam di tanganya sudah jam 20.15 WIB, sebenarnya Gavin masih betah berada di café, dia ingin sekali mendengar suara gadisnya saat bernyanyi, namun harus bagaimana lagi, dia tak boleh lupa dengan tugas utamanya sebagai dokter, akhirnya dengan sangat terpaksa Gavin pergi keluar meninggalkan café.

●●●


Pagi ini di fakultas, tepat jam 8 Gavin memasuki kelas Forza, karena hari jadwalnya mengajar di sana seperti biasanya.

“Selamat pagi semua.” Sapa Gavin.

“Pagi pak.”

“Ada yang nggak hadir hari ini? Tanya Gavin sambil menatap ke depan, memindai seisi ruangan mencari keberadaan Forza.

“Forza pak, surat dari rumah sakit ada di meja.” Jawab Abell sahabat Forza.

“Forza sakit apa?” tanya Gavin sambil membuka surat keterangan sakit dari RS dan membacanya.

Bukannya semalam dia baik – baik saja? kenapa sekarang di opname, aku benar – benar cemas memikirkanya, batin Gavin.

“Dia punya masalah lambung pak, kata bundanya semalam kolik dan pingsan nggak sadar – sadar jadi di bawa ke RS.” Jelas Abell, membuat Gavin makin panik memikirikannya.

Bagaimana pun aku harus menemui gadisku, aku tak tenang mengajar, biarlah khusus hari ini aku beri tugas saja, aku harus segera ke RS, batin Gavin lagi.

“Hari ini saya kasih tugas bikin makalah berkelompok, di sini sudah saya tulis tiap kelompoknya bikin apa, nanti ketua kelas tolong dibagi ya, saya ada keperluan di luar, nanti kumpulkan sama ketua kelas dan taruh di meja saya ya. Pertemuan selanjutnya maju diskusi, untuk kelompok yang mau masukkin Forza bisa hubungi dia nanti dapat bagian apa, ada yang mau ditanyakan?” aku menyerahkan kertas catatan.

“Nggak ada pak.”

“Saya permisi dulu, selamat pagi.”

Gavin langsung menuju parkiran mobil, hatinya benar - benar tak tenang saat mendengar gadisnya sakit dan saat ini juga dia ingin menemuinya. Gavin segera melajukan mobilnya menuju Rumah Sakit.

Sampai Rumah Sakit Gavin segera ke IGD, mencari tahu di ruang mana gadisnya di opname.

“Suster Via.” Panggilnya pada salah satu suster yang ia kenal di IGD.

“Ya dok, ada yang bisa saya bantu?” jawabnya.

“Pasien yang datang semalam atas nama Forza Shanum di kamar nomer berapa?” Tanya Gavin to the point.

“Sebentar dok.” suster Via mengetik nama gadisnya pada layar komputer.

“Anggrek 115 dok.” jawabnya.

“Oke makasih.” Jawab Gavin dan langsung berlalu menuju ruang Anggrek 115.

“Ngapain tuh dokter Gavin?”

“Tanya kamar pasien Forza.”

“Tumbenan.”

“Masih kerabatnya kali, udah ah nggak usah kepo urusan orang.”

Gavin masih bisa mendengar beberapa suster yang penasaran kenapa dia mencari pasien bernama Forza, tapi Gavin cuek saja, dia tak ambil pusing dengan orang lain yang mau bicara apa, tujuannya saat ini hanya satu, menemui gadisnya.

Gavin tiba di ruang Anggrek 115, dia mengetuk pintu dan membukanya perlahan. Di ruangan hanya ada gadisnya yang sedang tidur seorang diri, Gavin mendekat dan menatap wajah gadis pujaan hatinya yang tampak pucat dan lemah, Gavin duduk di kursi samping bed menungguinya yang masih nyaman memejamkan mata indahnya.

Hampir dua jam Gavin duduk manis menemani gadisnya yang tertidur hingga perlahan ia membuka matanya.

Forza terkejut saat melihat Gavin yang berada di sampingnya, tengah tersenyum menatapnya, “Loh, pak Gavin kok bisa ada di sini?”

“Saya tengokin PJ matkul saya yang sakit, emang salah?" tanya Gavin.

Forza menggeleng, “Nggak pak, saya kaget saja, maaf.” Jawabnya, meski pucat di mata Gavin ia masih tetap terlihat cantik.

“Iya, nggak apa Za, gimana tidurnya? Pules banget, sampai saya datang nggak dengar.” Tanya Gavin sambil menunjukkan senyuman termanisnya, kali saja gadisnya akan langsung jatuh hati padanya, masih berusaha boleh lah ya.

“Saya habis minum obat pak, jadi tidurnya lumayan pulas, Bapak nggak ngajar ya? Bukannya sekarang jamnya Bapak?” Sudah bisa Gavin tebak, pasti gadisnya akan menanyakan hal ini, pasti dia penasaran. Memang aneh sih baru kali ini seorang Gavin yang terkenal ontime dan disiplin malah bolos mengajar, semua hanya karena Forza.

“Iya, saya tadi kasih tugas makalah nanti juga kamu dapat infonya, saya langsung ke sini saat tahu kamu sakit, maaf ya sampai kelupaan nggak bawa apa – apa. Kamu mau apa biar saya belikan?” Gavin jawab sejujurnya.

“Nggak perlu repot - repot pak terima kasih, saya nggak pengin apa – apa perut saya masih mual.” Jawab Forza.

“Lagian, kamu kenapa sampai telat makan sih, calon dokter punya masalah sama lambung, nanti gimana kalau lagi Op terus aslamnya naik.”

“Calon dokter juga manusia kali pak, lagian ini juga sudah sehat nanti sore bisa pulang.” Jawab Forza santai, Gavin menatapnya, ini yang membuat Gavin heran dengan gadisnya, selalu bersikap santai seperti tak memikirkan apapun, meski sebenarnya banyak sekali yang ia pikirkan.

“Sehat apaan orang pucat gitu, kamu mesti opname 2 - 3 hari baru pulang.” Jawab Gavin.

“Lama amat pak, saya nggak bisa ninggalin kuliah dan kerjaan saya.” benar ‘kan, kelihatannya santai tapi ada yang dia pikirkan.

“Kamu ‘kan bisa izin sakit Za, jangan di paksain buat berangkat kuliah atau kerja, Za kamu keluar saja dari itu kerjaan, nanti saya bantu carikan pekerjaan buat kamu, gimana?”

“Saya sudah nyaman dengan kerjaan saya pak, saya nggak bisa keluar dari situ.” Tolak Forza.
Pintu kamar rawat inap terbuka, ternyata Bunda Forza dan Fahri yang datang, Gavin pun berdiri dan menyalami beliau.

“Loh ada nak Gavin, tahu gitu bunda ke sininya nanti, ngantar Fahri sekolah dulu, ini jadinya bolos karena bunda takut Forza butuh sesuatu.” Kata bunda Forza.

“Forza nggak sakit parah bun, masih bisa jalan sendiri, kesenangan Fahrinya nggak sekolah.” Gavin terkekeh mendengar gadisnya ini, meski sedang sakit masih bisa cerewet.

“Fahri kan mau jagain kakak, Fahri nggak bisa bobok ingat kakak di gendong pak RT takut kakak mati.” Jawab Fahri.

Ya ampun, ini anak bahasanya bikin geleng kepala saja, kakakmu nggak boleh mati dek karena dia harus jadi ibu dari anak – anakku dan hidup sampai tua denganku, protes Gavin dalam hati.

“Enak saja mati, kalau kakak mati kamu nggak ada yang ngelonin lagi dong.” Jawab Forza.

Aduh, ini lagi yang sakit malah ngegas juga, mana bahasanya bikin aku mupeng, aku mau juga kali Za di kelonin kamu, Upzzz apaan sih Vin ngelantur banget, istighfar Vin dia belum halal buat lu, rutuk Gavin dalam hatinya, mana berani dia bicara langsung karena ada bunda Forza, bisa blacklist jadi calon menantu.

“Kok kamu nggak kabarin saya kalau sakit, jadi ngrepotin pak RT gitu kan, lain kali kalau ada apa – apa kabarin saya ya biar nggak ngrepotin orang lain.” Gavin spontan saja mengatakan itu, membuat ibu dan anak di depannya langsung menatapnya penuh tanya.

Gavin merutuk dalam hati, kenapa juga dia harus bicara seperti itu, kenapa mudah sekali terbakar api cemburu hanya karena mendengar gadisnya di gendong pak RT.

“Bapak juga orang lain ‘kan?” kata Forza yang saat ini menatapnya, membuat Gavin jadi salting, dia bingung mau jawab apa, tatapan mata indah Forza membuat jantung Gavin berdetak makin cepat.

“Saya dosen kamu, saya juga orang yang akan dekat dengan kamu.” Jawab Gavin sambil menaik turunkan kedua alisnya sengaja menggoda Forza, sudah kepalang basah, Gavin pasrah saja, biarkan bunda Forza tahu kalau dia sudah jatuh cinta sejatuh - jatuhnya pada putrinya.

“Maksud Bapak?” Tanya Forza, membuat Gavin mendengus kesal, gadisnya ini padahal paling cerdas di Fakultasnya, tapi selalu lola jika urusan hati, membuat Gavin harus lebih extra sabar lagi, karena dia selalu nggak peka dengan semua kode cinta dari Gavin.

“Nggak usah di pikirin, Fahri ikut abang ke kantin yuk, mau ice cream nggak?” Gavin mencoba mengalihkan pembicaraan, karena atmosfer di ruang rawat Forza sudah tak enak untuknya.

“Mau bang, ayo.” Jawab Fahri.

“Bu, saya bawa Fahri ke kantin yah sebentar.” Pamit Gavin.

“Iyah nak Gavin, silahkan.” Jawab bunda Forza tersenyum.

Gavin pun membawa Fahri keluar ruang rawat inap, menuju kantin.

“Bunda kenapa senyam – senyum gitu?” Tanya Forza pada bunda karena sejak kepergian Gavin dan Fahri bundanya malah senyam - senyum menatap Forza membuatnya bingung.

“Bunda merasa kalau nak Gavin itu ada rasa sama kamu Za, nggak mungkin ‘kan kalau hanya seorang dosen sampai segitunya perhatian sama kamu, apa lagi tadi dia bilang kalau dia akan jadi orang yang dekat dengan kamu Za.”

“Bunda nggak usah aneh – aneh, Forza nggak mau mikirin begituan, karena tujuan hidup Forza sekarang ingin membahagiakan Bunda, Firza dan Fahri. Jadi Bunda jangan berharap lebih kalau Forza akan memikirkan itu.” Jelas Forza.

“Za, kamu juga berhak bahagia, jika ada pria yang menawarkan kebahagiaan untuk kamu, jangan pernah menolaknya nak, apalagi Bunda lihat nak Gavin begitu tulus sama kamu nak.”

“Bunda, udah ya jangan bahas itu dulu, Forza masih belum ingin membahasnya bun.”
Forza dan bundanya saling diam, menyelami pikiran masing – masing, hingga terdengar suara pintu yang terbuka.

Ceklek

Pintu terbuka dan masuklah dua pria beda generasi yang menenteng kantong palstik.

“Bunda, lihat Fahri jajannya banyak banget.” Kata Fahri pada bundanya.

“Loh, kamu kok ngrepotin bang Gavin sih sayang.”

“Nggak kok bu, lagian cuman jajan beginian saja. Oya Za tadi mamah saya telfon kebetulan lagi ada di sini, mungkin sebentar lagi mamah ke sini buat jenguk kamu.” Kata Gavin tersenyum, Forza sendiri terkejut mendengarnya.

“Jenguk saya?” Tanya Forza.

Gavin mengangguk, “Iyah, mamah pengen ketemu sama kamu dan juga Ibu.” Jawab Gavin kembali menunjukkan senyumnya, senyum yang bikin Forza stress.

“Ibu jadi nggak enak nak Gavin, sudah ngrepotin mamahnya nak Gavin.”

“Nggak apa bu, lagian kebetulan mamah lagi di sini.” Jawab Gavin.

Tok tok tok

Pintu ada yang mengetuk, Gavin berjalan untuk membukanya, yang ternyata mamahnya Gavin.

“Assalamulaikum." Salam mamah Gavin, saat sudah memasuki ruang rawat inap, "Loh, Fatma ‘kan?” mamah Gavin tampak terkejut saat melihat bunda Forza.

“Waalaikumsalam.” Jawab bunda Forza yang sama – sama terkejutnya, “Ranti ya?”

“Ya Allah, hamper tiga puluh tahun lebih akhirnya kita ketemu juga Fat, apa kabar?” kata mamah Ranti – mamahnya Gavin yang langsung memeluk bundanya Forza.

Baik Forza maupun Gavin terkejut, jika dua wanita paruh baya di depan mereka sudah saling mengenal, sejak tiga puluh tahun yang lalu, sejak Forza dan Gavin belum lahir ke dunia.

“Alhamdulillah baik, kamu tetap masih cantik saja seperti dulu ya Ran.” Kata bunda Forza.

“Kamu bisa saja, kamu juga cantik kok. Tunggu dulu, kamu ibunya Forza ya Fat?” tanya mamahnya Gavin.

“Iya Ran, Forza anakku.”

“Ya ampun, dunia sempit amat ya Fat.”

Mamah Ranti menatap Forza dan tersenyum manis, seperti senyum anaknya.

“Hai sayang, kamu pasti Forza ya. Kenalin saya mamah Ranti mamahnya Gavin.” Sapa mamah Gavin.

“Salam kenal tante, saya Forza Shanum.” Jawab Forza, berusaha sesopan mungkin.

“Jangan panggil tante, panggil Mamah saja yah kan kamu anak sahabat mamah.” Kata mamah Ranti kembali tersenyum.

What? Mamah? Nggak salah nih, ya ampun lihat tuh putra tante senyam senyum sendiri mendengar ucapan tante. Heemm tapi mau bagaimana lagi, aku harus menghargai beliau sebagai sahabat bunda, bukan karena mamahnya pak Gavin jadi okelah aku panggil mamah, batin Forza.

“Iya tan, eh mah.” Jawab Forza dengan canggung.

Gila manggil mamah depan anaknya langsung, membuat jantungku jumpalitan tak karuan, rutuk Forza dalam hatinya.

Forza dan Gavin, hanya menjadi pendengar setia, saat ke dua ibu hebat mereka sedang asyik bernostalgia masa sekolah dulu, saat di kampung.

Dari obrolan beliau berdua Forza dan Gavin baru tahu, ternyata mamah Ranti banyak berhutang budi pada Bunda dan Eyang Forza, karena keluarga Bunda lah yang sudah membiayai pendidikan dan juga hidup mamah Ranti dan adiknya yang seorang Polisi.

Sayangnya, sebelum mamah Ranti membalas kebaikan keluarga Bunda Fatma, secara mendadak Eyang dan Bunda pindah ke luar kota, saat mamah Ranti juga sedang ada pekerjaan di luar kota, sehingga tidak bisa menemui keluarga Eyang dan Bunda Forza.

Mamah Ranti sudah berusaha mencari keberadaan keluarga Eyang Forza, namun nihil tak juga di temukan, sampai akhirnya saat ini mereka di pertemukan karena ketidaksengajaan.

“Gimana kabar dek Braga, sudah punya anak berapa Ran? Pasti sekarang jabatannya sudah tinggi ya.” Tanya bunda Fatma.

“Braga baik, dia punya 2 orang anak Fat dan sekarang menjabat sebagai Kapolres, semua berkat jasa Ayah dan juga kamu, yang selalu memberi semangat setiap Braga berlatih. Braga pasti senang, saat tahu aku sudah bertemu denganmu Fat, dia selalu memikirkan kamu, karena pindah begitu mendadak, kami takut terjadi sesuatu, mengingat pesaing bisnis Ayah banyak. Oya gimana kabar Ayah dan Ibu? aku kangen sekali Fat, karena beliau lah yang memberikan kebahagiaan buat aku dan Braga.” Kata mamah Ranti panjang lebar.

“Ayah dan Ibu sudah nggak ada Ran, mereka sudah bahagia di atas sana.” Jawab Bunda Fatma, membuat mamah Ranti terkejut.

“Innalilahiwainnailahirojiun, aku ingin ke makamnya Fat.” Mamah Ranti menangis tersedu mendengar jika kedua orang yang sudah berjasa dalam hidup beliau sudah tiada.

“Boleh nanti aku antar ke sana Ran, udah ah jangan nangis lagi, malu tuh sama anak kita yang sudah besar.” Kata Bunda Fatma tersenyum.

“Aku sampai lupa kalau ada anak – anak Fat, saking bahagianya bisa ketemu sama kamu dan sedih karena nggak bisa ketemu Ayah Ibu.”

“Gavin, kenapa nggak dari dulu kamu ajak mamah ketemu sama Forza dan keluarganya, kalau dari dua tahun lalu ‘kan mamah udah ketemu sahabat mamah.”

“Dua tahun?” cicit bunda.

“Iya Fat, jadi Gavin tuh dari dua tahun lalu, kerjaannya kalau habis pulang dari kampus, cerita mahasiswinya terus yang namanya Forza, aku sampai penasaran kaya apa yang namanya Forza, sampai buat anak saya tobat dari playboynya dan sabar banget buat deketin dia, karna katanya kalau buru – buru takut lari.” Celoteh mamah Ranti diselingi tawa yang membuat wajah putranya memerah.

Forza menatap Gavin, dia benar – benar tak menyangka jika dosennya benar - benar sudah menaruh rasa padanya sejak Ospek, sekarang Forza percaya karena yang berkata mamah Ranti, nggak mungkin beliau berbohong.

“Mamah, udah dong jangan bikin malu Gavin.” Forza tersenyum mendengar suara manja dosennya ini, sungguh Forza baru pertama kali melihatnya manja, rasanya geli lihat wajah dan tingkah merajuk dosennya itu.

“Ngapain harus malu, Fatma dan Forza harus tahu kalau kamu ini sudah jadi bucinnya Forza dari dua tahun lalu, tapi masih saja sembunyi – sembunyi sampai sekarang, aku heran loh Fat, biasanya perempuan yang ngejar Gavin tapi Forza malah nggak tertarik sama sekali, makanya pas dengar lagi opname di sini, aku langsung pengen ketemu sama gadis yang nggak mau ngelirik anak aku sama sekali dan ternyata memang cantiknya luar biasa, jual mahalnya juga sama kayak kamu dulu Fat.” Mamah Ranti tertawa, begitu juga Bunda.

Forza hanya diam saja mendengarkan Mamah Ranti yang bicara panjang lebar, Forza melirik Gavin yang ternyata sedang menatapnya juga.

Deg

Forza kembali merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, saat kedua matanya menatap Forza penuh arti. Forza merasakan gelenyar aneh di tubuhnya setiap mata itu menatapnya, perasaan aneh itu tiba – tiba Forza rasakan, perasaan aneh yang dari dulu tak pernah Forza rasakan.

Bukan hanya Forza, karena Gavin pun saat ini merasakan hal yang sama, jantungnya sudah kebat – kebit tak terkendali, Gavin benar – benar sudah jatuh cinta pada gadis di depannya itu.

Gavin tersenyum manis pada Forza, senyum yang tak pernah ia perlihatkan kepada siapa pun, bahkan Forza juga baru pertama kali melihatnya. Senyumnya saat ini sungguh berbeda dari biasanya, Forza benar – benar dibuat meleleh oleh senyumnya.

“Ekhem, yang asik saling memandang sampai lupa sama mamahnya.” Tegur mamah Ranti.
Forza dan Pak Gavin sama – sama kaget, berasa ketangkap basah sama satpol PP, mereka jadi salah tingkah dan membuat ke dua ibu mereka tertawa geli melihat tingkah anak –anaknya.

“Vin kamu temani Forza dulu ya, mamah sama Bunda Fatma mau ke makam kakek dulu. Fahri juga ikut, ingat jagain saja kamu jangan macam – macam ya.”

“Iya mah, nggak usah khawatir.” ucap Gavin.
Bunda Fatma, mamah Ranti dan Fahri keluar ruang rawat inap, sekarang tinggal Forza dan Gavin berdua.

Hening di dalam ruang rawat inap Forza, mereka merasa canggung gara – gara omongan mamah Ranti tadi. Baru kali ini Gavin merasa tak bisa berkutik di depan wanita, biasanya wanita yang duluan merayu, tapi kali ini berbeda dan membuat otak Gavin yang cerdas mendadak mampet nggak bisa mikir.

Tok tok tok

Pintu rawat inap ada yang mengetuk dan tak lama terbuka.

“dokter Gavin ko di sini?” tanya dr. Ayu rekan kerja Gavin, nampaknya dia kaget melihat Gavin berada di ruangan pasiennya.

Gavin sedikit tersenyum, “Iya dokter Ayu, nungguin pasien.” Kata Gavin sambil melirik gadisnya yang hanya diam saja.

“Nona Forza, masih kerabat dokter ya.” Bukan dok, dia calon ibu dari anak – anakku, ingin sekali Gavin menjawab seperti itu, tapi apalah daya dia belum di terima.

“Iya dok.” Jawab Gavin asal.

“Oh pantes, Hai Nona Forza gimana kabarnya hari ini?” tanya dokter Ayu pada Forza.

“Sudah jauh lebih baik dokter.” Jawabnya tersenyum manis.

“Syukur Alhamdulillah, ada keluhan yang dirasakan saat ini?”

“Nggak ada dok, Mmm …. dok apa sore ini saya bisa pulang?”

Gavin langsung menatap gadisnya, apa – apaan gadisku ini dari tadi maunya pulang terus, apa dia nggak nyadar juga wajahnya masih pucat begitu, gerutu Gavin dalam hati.

“Tunggu hasil Lab dulu ya, kalau hasil labnya baik semua bisa pulang besok, nggak bisa sore ini.” Good job dr. Ayu, syukurlah kasih jawaban yang tak mungkin gadisku bantah, Gavin bersyukur dan tersenyum puas dalam hatinya.

“Terima kasih dok.” Jawab Forza yang terlihat sedikit kecewa.

“Sama – sama nona Forza, saya permisi dulu ya, mari dokter Gavin.” Pamit dokter Ayu yang di angguki Forza.

“Silahkan dokter Ayu.” Jawab Gavin.

“Bapak mau sampai kapan disini? memangnya nggak ngajar atau ngesift?”

“Kenapa? Nggak boleh ya di sini menemani kamu? Tenang saja, saya nggak ada kelas lagi, dan saya masih sift malam jadi masih santai.”

“Barangkali Bapak mau istirahat, buat persiapan ngesift nanti malam, saya nggak apa di tinggal kok.” Gavin menatap Forza.

“Saya nggak akan ninggalin kamu Za, saya sudah di kasih amanah buat jagain kamu. Sekarang tidur ya, saya di sofa, kalau butuh apa – apa panggil saja.” Gavin tahu diri, mungkin Forza ingin istirahat tapi tak nyaman karena ada dia di sampingnya.


Love Forza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang