Selamat jalan suamiku

1.9K 143 2
                                    

Tiiiiiiitttt

Suara Bedside monitor terdengar sangat nyaring di dalam ruangan.

“M ... mas mas Gavin jangan bercanda, bangun mas!” Aku mengguncang tubuh mas Gavin, namun aku merasakan, jika tubuhku di tarik mundur menjauh dari brankar, memberikan ruang untuk Kak Reno, Kak Dhika, Kak Dimas berusaha menyelamatkan suamiku.

Defibrilator Ren.”

“Siap Dhik 120 joule”

“ Naikkan 20 joule.”

“Shock.”

“50 joule.”

“Shock.”

Tak ada perubahan hanya garis lurus yang terlihat di layar monitor.

“Bangun Vin, lu harus bangun! anak dan istri lu nunggu.” Teriak kak Dhika.

“Sekali lagi Dhik.”

“200 joule.”

“Shock”

“Shit! Bangun Vin! Lu harus bangun, jangan bercanda Vin, gue mohon.” Teriak Kak Dhika menunduk dan kemudian menangis di samping mas Gavin, terdengar suara mamah Ranti dan tante Diva yang juga menangis.

Aku berjalan mendekati suamiku, membingkai wajah mas Gavin dengan kedua tanganku “Bangun mas, demi Baby Al aku mohon BANGUN!!! Hiks hiks.” Teriakku, Aku tak lagi bisa menahan air mataku, dadaku benar - benar terasa seperti tertusuk ribuan anak panah, sakit rasanya harus kembali merasakan di tinggal orang yang aku sayang dan aku cinta.

Aku sudah berusaha bangkit, saat aku ditinggal bunda untuk selamanya, kemudian Ayah juga menyusulnya, mas Gavinlah yang sudah membantu dan menemaniku untuk bangkit melewati semuanya, namun sekarang justru dia yang pergi meninggalkanku.

Denyutan nyeri di kepalaku dan juga gelap kini menyelimuti mataku, kini aku hanya bisa mendengar teriakan orang - orang yang memanggil namaku.

“FORZA!”

●●●

Aku membuka mata, kini aku sudah berada di ruangan yang sangat aku kenal, ruangan yang menjadi saksi aku dan mas Gavin berbagi cinta dan sayang, ya saat ini aku berada di dalam kamar,  entah sejak kapan aku berada di sini, terakhir aku mengingat aku sedang berada di rumah sakit, menangisi nasibku yang kembali di tinggal orang yang aku sayang dan aku cinta, mas Gavin aku teringat dirinya di mana dia saat ini, apa tadi hanya mimpi? Ya aku harap itu hanya mimpi buruk saja, yang ketika aku membuka mata semuanya selesai.

Namun sayangnya saat akan bangun dan turun dari ranjang, aku mendengar pintu kamar terbuka, masuklah Kak Dhika, membuatku bertanya dalam hati kenapa kak Dhika bisa masuk ke kamarku.

Dia berjalan mendekatiku, berdiri di samping ranjangku, menatapku penuh luka kepedihan, “Maaf, maaf karena aku gagal menyelamatkan Gavin.” Kalimat itu yang aku dengar, berarti semua yang terjadi ini bukan mimpi tapi nyata. Lagi dan lagi tanpa di komando air mataku ini berjatuhan dengan sendirinya.

“Bukan salahmu kak, kamu sudah berusaha dengan baik, tapi Allah lebih menyayanginya. Di mana mas Gavin sekarang?” kataku menatap kak Dhika yang masih berdiri.

“Ada di bawah, semua menunggu kamu.” Aku segera turun dari ranjangku, walaupun kepalaku masih terasa sakit, Kak Dhika berusaha membantuku untuk berjalan keluar kamar menemui pria yang sangat aku cintai.

Dari lantai atas aku melihat tubuh yang sudah terbujur kaku dan terbungkus kain kafan, wajahnya tertutup selendang, rumahku sangat ramai dipenuhi sanak keluarga, para tetangga, rekan papah dan Om Braga di kepolisian, juga rekan mas Gavin, rumah sangat ramai tak seperti biasanya.

Perlahan aku menuruni tangga demi tangga, dibantu kak Dhika yang memapah tubuhku, mendekati tubuh yang terbujur kaku, tak lain tubuh suamiku, orang yang sangat berarti untuk hidupku.

Aku duduk di sampingnya dibantu mamah Ranti dan tante Arum. Aku buka selendang yang menutupi wajah tampannya, aku sentuh pipinya yang sekarang sudah memucat dan dingin.

Aku pandangi wajah tampan suamiku untuk aku simpan rapat – rapat di dalam hati dan pikiranku, pria yang dengan tulus mencintaiku, pria yang dengan semangatnya menghancurkan egoku, pria yang sudah merubah persepsiku tentang cinta, pria yang dengan sabarnya menghadapi semua tingkahku, pria yang dengan suksesnya sudah menjungkir balikkan hidupku, memberikan kebahagiaan yang tak pernah ada habisnya, pria yang tak pernah sedikit pun menyakitiku.

Aku rasakan usapan di pundakku, “Ikhlaskan suamimu nak, jangan biarkan jalannya menjadi gelap, jangan bebani suamimu dengan tangis kesedihanmu, bukankah kamu sudah berjanji untuk bahagia?” aku menoleh menatap mamah Ranti, bagaimana bisa wanita di depanku ini begitu tegar, saat anak semata wayangnya harus pergi meninggalkan beliau untuk selamanya.

“Bohong kalau mamah tidak sedih nak, mamah sangat sedih sepertimu, tapi mamah harus menerimanya, mamah harus ikhlas merelakannya agar putra mamah tidak terbebani apa pun, agar dia pergi dengan bahagia.” ujar mamah Ranti mencoba tersenyum, senyum yang terlihat menyakitkan dan sangat dipaksakan.

Mamah Ranti mengusap air mataku yang lagi – lagi tak bisa aku bendung, “Jangan menangis karena suamimu akan sedih nak, suamimu tidak pernah menyukai mata indahmu ini mengeluarkan air mata.” Aku mengangguk, sekuat mungkin aku tahan air mataku, walau nyatanya masih saja ada yang lolos keluar.

“Kamu harus bahagia seperti apa yang Gavin inginkan, bukankah di dalam sini ada Gavin junior yang harus kamu jaga dan kamu rawat?” tante Arum menyentuh perutku yang sudah membuncit ini, “Gavin tidak pergi nak, dia akan selalu ada di sini.” Tante Arum menunjuk dadaku.

Ya tante Arum benar, mas Gavin masih meninggalkan sebagian dari dirinya di dalam rahimku yang harus aku jaga dan aku rawat, bagian darinya yang ia tunggu kehadirannya, meskipun semua impian dan harapanku untuk menua bersama kini telah pupus, karena sang pemberi mimpi dan harapan kini telah pergi untuk selamanya meninggalkanku bersama permata hati, buah cinta kami.

Aku kembali menatap wajah tampan suamiku, mencoba mengingat kembali semua kenangan manis yang sudah mas Gavin berikan untukku, aku mendekat dan kembali mengusap wajah tampannya, aku tersenyum menatapnya.

Aku melihat papah Ardan, Om Braga dan Om Abhi bergantian di depanku yang juga tersenyum, mereka menganggukkan kepala, seakan memberiku isyarat, aku harus yakin kalau aku bisa, aku harus ikhlas menerimanya.

Aku juga menatap ketiga sahabat mas Gavin yang wajahnya sangat kacau sepertiku, mereka memaksakan diri untuk tersenyum dan menganggukkan kepala padaku.

Aku kembali menatap wajah tampan suamiku, aku mendekat dan aku cium keningnya cukup lama, ciuman terakhir bukti cinta dan sayangku untuknya, aku cium kedua matanya yang suka mengerling menggodaku, mata yang selalu membuatku gugup saat memandangku, mata yang sudah membuatku jatuh hati, mata dengan bola mata hitam yang tak akan pernah aku lihat lagi, aku mencium kedua pipinya dan kemudian bibirnya, bibir yang selalu tersenyum manis untukku, bibir yang selalu mengeluarkan kata - kata rayuan receh yang sayangnya aku sangat menyukainya, bibir yang sudah menjadi candu untukku, aku menciumnya cukup lama, ciuman untuk yang terakhir kalinya.

Aku melepas ciumanku dan tersenyum manis untuk mas Gavin, “Apa kamu akan bahagia jika aku bahagia mas? Jika iya maka aku akan berusaha bahagia dengan atau tanpa kamu di sisiku, aku ikhlas kamu pergi, akan aku jaga dan rawat anak kita dengan penuh kebahagiaan, selamat jalan suamiku, selamat jalan sayangku, selamat jalan daddy sampai bertemu kembali di surgaNya Allah, tunggu aku di sana dan jemput aku jika waktuku sudah tiba. Terima kasih atas cinta dan sayangmu yang tak terbatas untukku I Love you so much my husband.”

Love Forza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang