"Seharusnya kita tidak meninggalkannya sendiri di rumah! Mungkin Filistin tidak akan ditangkap seperti ini!"
Sudah dua hari semenjak Filistin ditangkap, Laila selalu meraung seperti itu. Air mata sudah mengering di pipinya. Dadanya sungguh perih.
"Dulu Asima ditahan selama enam bulan, lalu bagaimana dengan nasib Filistin? Bagaimana jika Filistin juga mengalami kekejian yang serupa seperti Kakaknya?"
"Tenangkan dirimu. InsyaAllah tidak akan terjadi apa-apa dengannya."
"Bagaimana aku bisa tenang?! A--ku sangat takut!"
"Kita berdoa saja semoga Filin segera dibebaskan. Apa lagi yang bisa kita lakukan selain berdoa. Menangisinya saja seperti ini juga tidak akan membantu, yang ada kau malah sakit. Bersabarlah dan serahkan semuanya pada Allah."
Qasem mencoba menenangkan. Meskipun ia tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran dari netra cokelat teduhnya, dia harus tetap tegar di depan istrinya.
Lelaki paruh baya berbadan kurus itu menghela napas panjang. Dia berjalan gamang menuju pojok tenda, lalu membongkar sebuah dus berisi termos, gelas, kopi, teh, gula dan beberapa shascet serbuk minuman instant. Setelah rumahnya dihancurkan oleh para pasukan militer Israel, dia dan putra sulungnya membangun sebuah tenda di bawah kaki bukit yang tak jauh dari rumahnya yang kini telah rata dengan tanah. Sebagian warga sipil pun ikut membangun tenda di sekitarnya, sedangakan sebagian warga lain memilih untuk pindah ke kamp pengungsian Nusairat.
"Sekarang mau ikut berjualan denganku, atau tidak?"
"I--iya, aku pergi denganmu. Tunggu, aku akan bersiap-siap sebentar."
Laila mengusap wajah seraya beristighfar sebanyak-banyaknya dalam hati. Benar apa kata suaminya, dia harus ikhlas dan sabar dalam menjalani setiap ujian dari-Nya. Wanita berwajah bundar tersebut menoleh pada ambang pintu tenda di mana Al Quds baru saja memasukinya. Putra sulungnya tampak kesusahan menggendong tumpukan kayu kering di punggungnya. Laila bergegas melangkah lebar dan menghampirinya, lalu membantunya melepaskan tali yang mengikat kayu tersebut kemudian menaruhnya di lantai tanah.
"Al, kau jaga adikmu dan beristirahatlah. Masih ada sisa nasi kacang di dapur, itu untukmu. Kami berangkat dulu."
"Iya, Bu. Bagaimana keadaan Asima? Apakah dia masih demam?"
"Badannya sudah tidak terlalu panas. Hanya saja dia terus mengigau. Sepulang dari pasar Ibu akan membeli obat untuknya. Apa kau masih memiliki simpanan uang?"
Al Quds mengangguk. "Tunggu sebentar, aku akan mengambilnya."
Al Quds melangkah lebar menuju kamar. Sesampainya di kamar, dia menggeser sebuah dus besar berisi pakaian dan buku-buku pelajaran milik Filistin. Tangannya dengan cepat menggali tanah menggunakan sebilah kayu yang runcing. Dia menahan napas saat ujung kayu itu menyentuh kerasnya kaleng susu yang mulai mencuat ke permukaan. Dia mengambilnya, lalu membersihkannya dari serpihan tanah. Al membuka kaleng usang tersebut dan mengambil lembaran Shekel dan uang logam di dalamnya. Uang itu adalah tabungan untuk Filistin sekolah yang susah payah ia kumpulkan selama ini.
"Filin, maafkan Kakak. Kakak berjanji akan mengumpulkannya lagi setelah ini. Sekarang Asima lebih membutuhkannya."
Hati Al bergetar. Dia lantas berdiri dan mengayunkan langkah gontai menemui ibunya.
"Ini, Bu. Pakai saja."
"Terima kasih, Al. Maafkan Ibu, lagi-lagi merepotkanmu."
"Sama sekali tidak. Ibu ini seperti sedang meminjam uang pada orang lain saja." Al menggeleng sambil tersenyum lebar, memamerkan gigi gingsulnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2
RomanceFollow dulu sebelum baca. Bert Ertugrul, seorang personel dari pasukan khusus IDF, Unit Mistaravim yang kaku, berhati dingin dan tidak pernah percaya dengan cinta. Sersan Bert tidak pernah ingin memiliki ikatan serius dengan seorang wanita. Selama k...