Bab 2 | Sepasang Iris Biru

1.2K 174 59
                                    

Seorang perwira Israel berjalan gontai menelusuri lorong penjara bawah tanah yang sangat gelap. Ia mengeratkan jaket kulit hitamnya saat udara dingin malam semakin menusuk. Tatapan tajam netra hijaunya lurus ke depan. Setelah mendapat telepon dari pihak kepolisian Israel, Bert bergegas pergi ke penjara untuk mengambil dompetnya yang katanya dicuri oleh seorang gadis kecil di Tepi Barat. Bert sangat penasaran.

Seingatnya Bert tidak bertemu gadis kecil ketika bertugas di perbatasan tadi sore. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin dompetnya bisa berada pada gadis itu.

"Gadis itu ada di dalam?" tanya Bert sesampainya di depan ruang interogasi.

"Dia masih diinterogasi. Tapi sampai sekarang masih belum mau mengaku jika dia telah mencuri dompetmu."

"Aku ingin melihatnya."

"Silakan masuk."

Bert mengangguk pada polisi jangkung yang menjaga pintu. Kedua kaki panjangnya berayun cepat setelah polisi Israel tadi membukakan pintu untuknya.

"Malam."

"Malam, Sersan Bert."

Bert menjabat tangan salah seorang polisi yang tengah berdiri tegap berjaga-jaga di belakang tubuh seorang gadis yang sedang menekuk wajah. Sinar lampu di atasnya menyorot terang tepat di atas kepala sang gadis, Bert dapat melihat jelas bercak darah dan debu yang menempel pada hijab abu-abu yang dipakainya. Dia yakin jika gadis itu telah mengalami kekerasan selama diinterogasi.

"Di mana kalian menangkap gadis ini?"

"Personel Unit Galani tadi sore sedang beroperasi di desa Beit Kahel, mereka menangkap gadis ini di sana."

"Hmm."

Bert masih mematung di tempatnya berpijak. Tiba-tiba dia tertegun kala gadis itu mengangkat wajah. Jantungnya berdebar hanya karena sepasang mata teduh beriris biru yang nyaris redup itu mengunci tatapannya.

Darah segar mengucur deras dari pelipis Filistin, mengalir menuruni pipinya yang juga dipenuhi memar. Wajah mungilnya terlihat sangat memelas. Dia memegangi pelipisnya yang sobek akibat benda tajam yang dihantamkan oleh salah seorang polisi Israel. Bibirnya bergetar menahan nyeri. Dia membeku kala netra tajam hijau lelaki yang sempat ia kagumi dalam gambar itu kini sedang menatapnya tanpa berkedip, sangat nyata dan dekat, hanya berjarak satu meter darinya.

"Ini dompetmu. Coba kau periksa apakah isinya masih utuh, atau ada yang hilang?"

Bert tersentak dan segera memutus kontak mata dengan gadis itu. Dia menerima dompet kulit hitam yang polisi itu berikan, lalu dia membuka dan memastikan isi dalam dompet tersebut. Uang kertas, passcard, foto kecilnya bersama sang ibu dan kartu kreditnya masih tersusun rapi dalam dompet. Bert menutup dompetnya, lalu memasukkannya dalam saku celana jeans biru yang ia kenakan. Dia berdeham pelan.

"Tidak ada yang hilang satu pun. Semuanya utuh. Kalau begitu aku permisi. Terima kasih."

"Lain kali kau harus berhati-hati."

Bert mengangguk, lalu memutar badan dan segera mengayunkan langkah gontai meninggalkan ruangan.

"Hei, tunggu! Aku bukan pencuri! Aku tidak mencuri dompetmu! Kumohon bantu aku keluar dari sini! Kumo--hon---"

"Berisik! Bawa gadis ini ke ruang tahanan!"

"Siap, laksanakan!"

"Jangan! Ku--kumohon! Aku tidak bersalah! Aku tidak mencurinya! Kumohon bebaskan aku! Aku masih sekolah! Aku harus belajar!" teriak Filistin sangat serak. Suaranya nyaris hilang.

"Itu sama sekali bukan urusan kami! Salahmu sendiri kenapa mencuri!"

"AKU BUKAN PENCURIIIII!"

Napas berat berembus dari bibir Bert. Dia mengusap wajah dan semakin cepat mengayunkan langkahnya meninggalkan ruangan interogasi itu. Dia tidak ingin lagi mendengar jerit tangis gadis itu.

Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang