"Kumohon jangan ke sini. Kakak Al akan sangat marah padamu. Mengertilah, Bert!"
Filistin mengeratkan genggamannya pada ponsel saat lelaki di seberang sana justru tertawa ringan. Ia mendengus sebab Bert tetap bersikukuh ingin menemui Al Quds dan bicara dengannya.
"Kau terlambat mencegahku, Filin."
"Maksudmu?"
"Berbaliklah, aku sudah berada di belakangmu."
Filistin melebarkan matanya. "A-apa?"
Gadis itu mematikan ponsel, lalu segera berbalik. Kedua netra birunya membelalak dan ia sontak membuang sapu lidi yang semula digenggamnya ke sembarang arah. Gadis itu berlari menghampiri dua lelaki berpenampilan maskulin yang berdiri tak jauh darinya.
Bert tersenyum tipis melihat Filistin tampak sangat terkejut. Bert tidak pernah main-main. Ia bertekad ingin menemui Al Quds secara jantan dan meminta restu padanya.
Amit melambaikan tangan pada Filistin sambil tersenyum lebar. Tak lama, ia meringis saat Bert menepuk pundaknya dengan kencang.
"Hei! Apa kau sudah gila? Kenapa memukulku?"
"Jangan bersikap genit padanya. Dia milikku."
"Ya Tuhan! Aku hanya ingin menyapanya. Jika aku mengedipkan mata, itu baru namanya genit." Amit mendengus, lalu menggeleng. "Lagi pula, aku ikut denganmu ke sini karena ingin bertemu dengan Reda," lanjutnya.
Bert berdecak, lalu mengulas senyum saat gadisnya telah sampai di depan mata.
"Bukankah ini sebuah kejutan yang sangat manis hm?"
Dada Filistin naik turun sembari mengatur embusan napasnya yang liar. Jantungnya berdebar-debar. Kedua matanya membesar menatap Bert.
"Sudah kubilang jangan datang ke sini! Kakak Al akan sangat marah!"
"Maaf. Aku tetap ingin bertemu dan harus bicara dengan kakakmu. Bagaimanapun, kita tidak boleh terus bersembunyi seperti ini. Aku bukan lelaki pengecut yang hanya berani membawa anak gadis orang dan bertemu secara diam-diam. Aku ingin berbicara baik-baik dengan kakakmu dan memberitahukan padanya tentang hubungan kita."
Filistin tertegun, hanyut dalam tatapan permata hijau Bert yang teduh dan sangat jernih. Tersirat ketulusan dan Bert tampak sangat serius. Hatinya sangat berbunga. Namun, tetap saja Filistin khawatir Al Quds akan sangat marah jika mengetahui hubungannya dengan Bert.
"Bert, aku takut Kakak Al akan marah. Kau tahu sendiri, dia sangat membencimu."
"Sekarang aku sudah memeluk Islam dan pensiun jadi tentara. Aku yakin dia akan menerimaku."
"Tap--"
"Kau jangan takut." Bert memegang kedua bahu Filistin, menatapnya semkin dalam dan serius. "Aku tahu kau masih sekolah dan perjalanan hubungan kita masih sangat panjang. Aku hanya ingin mengenal keluargamu lebih dekat lagi. Ini semua saran Letnan Aaron. Dan kurasa ini sangat benar, karena aku tidak ingin ada lelaki lain yang akan melamarmu lebih awal. Jadi, aku akan menitipkanmu pada kakakmu sekarang."
Filistin kehilangan kata-kata. Ia membenarkan semua ucapan Bert. Hanya saja, ia tetap takut dan semakin gelisah. Hari sudah mulai gelap, ia yakin sebentar lagi Al Quds akan segera pulang dari pasar.
"Filistin!"
Suara tegas yang kental akan amarah terdengar dari seberang jalan. Filistin, Bert dan Amit sontak menoleh. Berbeda dengan Bert yang tampak sangat tenang melihat kedatangan Al Quds, gadis itu justru melebarkan matanya.
Bert tersenyum penuh arti, lalu meraih tangan Filistin dan menggenggamnya erat saat gadis itu mencoba menariknya. Ia tak peduli dengan lelaki yang sedang berjalan gontai ke arahnya tampak memasang wajah garang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2
RomansaFollow dulu sebelum baca. Bert Ertugrul, seorang personel dari pasukan khusus IDF, Unit Mistaravim yang kaku, berhati dingin dan tidak pernah percaya dengan cinta. Sersan Bert tidak pernah ingin memiliki ikatan serius dengan seorang wanita. Selama k...