"Ibu, tolong buangkan kotak ini untukku.""Bu-buang? Kau serius? Bukankah kotak ini sangat berharga untukmu?"
Bert terdiam sejenak seraya menghela napas berat."Buang saja. Bila perlu bakar saja sekalian. Aku tidak ingin Asima melihat kotak itu."
Maria tertegun melihat punggung tegap Bert. Putranya sangat cepat menuruni anak tangga. Ia mengusap kotak biru itu. Napasnya berembus pelan. Maria tidak sampai hati jika harus membuang, atau membakar kotak itu. Namun, jika Bert yang berkehendak demikian, Maria tidak bisa menolaknya. Wanita berrok hitam itu bergegas menuruni anak tangga seraya membawa kotak biru tersebut.
Asima yang sedari tadi mencuri obrolan Bert dan Maria menghela napas. Wanita itu bersembunyi di balik pintu kamar. Kedua alis tebalnya saling menaut.
"Memangnya apa isi kotak itu sampai Bert sangat tidak ingin aku melihatnya?"
Asima semakin penasaran. Terlebih lagi, kemarin malam Bert sampai membentaknya saat Asima tidak sengaja menemukan kotak itu. Segudang tanya bergelayut di benaknya. Asima bergegas menuruni undakan demi undakan anak tangga dengan tergesa-gesa.
Sesampainya di dasar tangga, ia mengedarkan pandangan. Bert tampak sedang membaca sebuah koran di ruang keluarga. Asima menelan saliva, lalu melanjutkan langkahnya menuju dapur. Di dapur hanya ada Reda dan Filistin yang tengah berkutat dengan sayuran dan bahan masakan lainnya. Asima tidak melihat Maria di sana.
"Apa kalian melihat Ibu Maria?"
Suara Asima membuat Filistin yang tengah memotong daun bawang menoleh.
"Ibu Maria pergi ke halaman belakang,"ujar Filistin.
Asima mengangguk pelan tanpa sepatah kata pun. Ia segera berjalan gontai menuju pintu dapur yang akan membawanya ke halaman belakang. Asima harus tahu apa isi kotak itu. Ia tidak ingin terus dihantui oleh rasa penasaran.
Reda yang sedang memotong daging ayam menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu menoleh pada Filistin.
"Ada apa Kak Asima mencari Ibu Maria?"
Filistin mengangkat bahu."Entahlah, aku tidak tahu. Sudahlah, ayo, lanjutkan pekerjaan kita. Sebentar lagi Ibu Maria pasti datang dan semua bahannya harus sudah siap."
Reda mengangguk dan bergegas melanjutkan aktivitasnya. Kedua gadis itu tengah mempersiapkan hidangan makan siang.
Sesampainya di halaman dapur, jantung Asima semakin berdebar-debar. Ia melangkah cepat mendekati punggung Maria yang tengah duduk di depan sebuah tong pembakar sampah.
"Fi-Filistin?"
Suara lirih itu membuat punggung Maria tegak. Wanita bertubuh besar itu sontak berdiri dan melebarkan matanya saat retina hitamnya mendapati sosok Asima.
Asima membeku di tempat. Kedua iris birunya enggan berkedip, menatap nanar isi kotak biru yang terbuka itu. Tampak olehnya selembaran foto gadis yang wajahnya sangat tidak asing. Foto Filistin, adik kandungnya sendiri.
"Ja-jangan, Asima!"
Maria mencoba merebut kembali kotak biru yang kini sudah di tangan Asima.
"A-apa maksud semua ini, Bu? Tolong jelaskan padaku! Kenapa isi kotak ini semuanya foto Filistin dan su-surat ini apa maksudnya?"
Lidah Maria mendadak kelu. Ia tetap mematung melihat tangan Asima mengacak-acak isi kotak biru itu.
Tangan Asima gemetar. Ia mengambil satu per satu lembaran foto Filistin dengan beragam pose. Dalam foto-foto itu Filistin terlihat sangat bahagia dengan senyuman manis yang menghiasi bibir ranumnya. Lalu, Asima mengambil selembar foto yang sontak membuat kedua matanya semakin melebar. Foto Filistin dengan laki-laki yang baru saja kemarin sah menjadi suaminya. Dalam foto itu, Bert dan Filistin berdiri saling bersisian dengan jarak sekitar 1 meter. Keduanya tampak tersenyum lebar menghadap kamera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2
RomantikFollow dulu sebelum baca. Bert Ertugrul, seorang personel dari pasukan khusus IDF, Unit Mistaravim yang kaku, berhati dingin dan tidak pernah percaya dengan cinta. Sersan Bert tidak pernah ingin memiliki ikatan serius dengan seorang wanita. Selama k...