Bab 11| Gadis Tepi Barat

811 122 53
                                    

"Siapa lelaki ini?"

Al Quds menahan napas melihat Filistin masih membungkam. Ia melepas dagu adiknya. Pria itu terus beristighfar untuk meredam emosinya yang semakin memuncak.

"Baik, jika kau tidak ingin mengatakannnya pada Kakak. Kita akan melihatnya bersama nanti."

Filistin melebarkan mata saat Al Quds menatapnya tajam.

"Kakak, apa yang akan kau lakukan?"

"Aku akan mengajak lelaki itu untuk bertemu denganmu."

Filistin menggeleng. Air mata telah mengering di kedua pipinya. Ia mencoba meraih ponsel yang Al Quds genggam sambil berjinjit-jinjit, namun usahanya sia-sia.

Al Quds sangat penasaran. Jemarinya dengan cepat mengetikkan sebuah pesan singkat untuk pemilik nomer asing berkode negara Israel itu. Rahangnya mengeras setelah ia menekan tombol kirim.

"Al ...! Bisa ke sini sebentar? Bantu Ibu membawa karung gandum ini. Berat sekali!" Suara Laila terdengar nyaring dari dalam tenda.

"Iya, Bu!" Al Quds menghela napas. "Tunggu Kakak sebentar." Ia memutus kontak mata dengan Filistin, lalu segera melenggang pergi ke arah tenda.

"Astagfirullah! Ampuni dosa Filin. Bagaimana ini?"

Filistin menangkup wajah mungilnya. Ia mendadak panik dan gelisah. Remasan kedua tangannya semakin menguat. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika Al Quds tahu kalau lelaki itu adalah seorang tentara Israel. Buku-buku pelajaran beserta tas miliknya masih tergeletak di rumput, ia berjongkok dan segera memungutinya, lalu memasukkannya dalam tas.

****

Bert masih berada di bukit itu. Emosi masih meledak-ledak di dadanya. Ponselnya kembali bergetar, ia membukanya. Sebuah pesan yang tampak di layar membuat keningnya berkerut.

Crazy People

Temui aku di perkebunan zaitun dekat Pagar Pembatas Desa Bait Kahel. Sekarang!

Bert berdecih, lalu menyunggingkan senyum miring. "Berani menunjukkan wajah juga kau akhirnya, huh! Awas saja!"

Ia memasukkan ponsel ke saku seragam perwirnya. Kemudian tak ingin buang-buang waktu, Bert lantas berjalan gontai meninggalkan tempat itu, menelusuri rerumputan hijau dan semak-semak pepohonan liar. Senjata serbu tavor hitam menggantung di punggungnya. Tangan kanannya menggenggam relvover silver kesayangan. Bert sudah tak sabar ingin menembak kepala orang gila yang telah berani mengusik ketenangannya itu.

Setelah berjalan sekitar lima belas menit, Bert pun sampai di perkebunan zaitun yang cukup luas. Ia berhenti sejenak sembari mengatur embusan napasnya yang liar. Sepasang netra hijaunya menjelajahi barisan pohon zaitun rindang yang telah mulai berbuah di musimnya. Kicauan burung tedengar merdu dan angin berembus semakin kencang. Semburat jingga perlahan mulai memudar bergantikan awan hitam.

"Seorang gadis."

Lipatan kecil timbul di dahinya saat retina matanya menangkap sosok gadis di seberang sana, hanya berjarak sekitar dua meter dengannya. Gadis berkerudung merah jambu yang tampak menunduk dalam. Ujung kerudungnya melambai-lambai tertiup angin.

"Sial. Apa benar gadis itu yang telah menerorku selama ini?"

Rahang Bert mengeras. Genggaman tangan besarnya pada relvover silver semakin erat. Tangannya sudah gatal ingin meletuskan kepala seorang Palestina itu. Tapi entah kenapa jantungnya justru berdebar-debar saat jarak di antara mereka semakin menipis. Bahkan sekarang matanya melebar ketika gadis yang semula menunduk itu mengangkat wajah hingga tatapan mereka beradu.

Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang