Bel pulang sekolah berdenting nyaring. Para siswi di sekolahan Al Aqsa bergegas merapikan buku dan alat tulis mereka ke dalam tas masing-masing. Seorang guru muda berhijab putih berdiri dari duduknya, lalu berjalan mendekati barisan meja siswi paling depan. Meskipun hatinya bergemuruh, wajah putihnya bercahaya dan tampak tenang. Ia menghela napas panjang.
"Anak-anak, mohon perhatiannya sebentar. Ada yang ingin Ibu sampaikan pada kalian."
"Iya, Bu!"
Guru cantik itu menatap muridnya dengan serius.
"Sebenarnya ... beberapa hari yang lalu, sekolah kita mendapat surat peringatan penggusuran dari otoritas Israel. Dari tanggal yang mereka tetapkan, besok penggusuran itu akan dilangsungkan," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Semua siswi tercengang. Mereka saling menoleh dan kebisingan pun mulai mengudara. Mereka bertakbir dan merapal doa, sebagian siswi terisak. Begitu pun dengan Filistin dan Reda yang duduk di barisan bangku terdepan. Kedua gadis itu saling menggengam tangan dengan erat untuk menguatkan.
"Lalu di mana kita akan belajar, Bu?"
"Kenapa para penjajah itu terus menghacurkan sekolah-sekolah di Tepi Barat?!"
"Ini tidak boleh terjadi, Bu! Kami ingin sekolah! Ini tidak adil!"
"Ya, benar! Kita semua ingin belajar!"
"Tak bisakah mereka berhenti membuat kekacauan? Astagfirullah!"
"Kita semua harus berdemo dan membatalkan penghancuran itu! Kita tidak boleh mengalah dan diam saja!"
"Iya, aku setuju denganmu! Hentikan diskriminasi!"
"Harap tenang semuanya."
Bu guru menahan napas. Kedua netra cokelatnya mulai tenggelam oleh bening. Siapa yang hatinya tidak pedih dengan penjajahan yang Israel lakukan. Ia tidak tega melihat wajah sendu muridnya. Ia juga tidak ingin penggusuran itu terjadi.
"Kepala Sekolah akan berusaha untuk mengajukan banding ke pengadilan. Semaksimal mungkin, kami para guru akan mempertahankan sekolah ini. Tapi untuk menghindari hal buruk yang tidak diinginkan, besok kalian diliburkan."
"Tidak, Bu! Kami tidak ingin libur! Kita harus ikut berdemo!"
Filistin berdiri, menggebrak meja dengan tatapan tajam. Diikuti Reda dan seluruh murid yang kini juga berdiri. Semangat jihad berkobar dalam dada mereka.
"Diam bukan berarti mengalah." Guru langsing itu mengulas senyum. "Tapi, ini demi kebaikan. Kalian tahu mereka sangat keji dan licik, bukan? Akhir-akhir ini sering terjadi pembunuhan dan penangkapan anak-anak. Kami tidak ingin itu terjadi pada kalian. Bukankah kalian ingin tetap sekolah? Bukankah kalian ingin meraih cita-cita kalian? Untuk itu, kami mohon, biarkan kali ini para guru yang akan mengatasinya. Kalian diam saja di rumah dan doakan kami sebanyak-banyaknya. Semoga penggusuran itu tidak jadi dilakukan."
Semua murid terdiam, merenungi apa yang guru tadi ucapkan. Akhirnya mereka hanya menghela napas pasrah dan mengangguki ucapan gurunya.
Filistin yang pernah merasakan mendekam di penjara bawah tanah Israel menggigil. Tentu dia tidak ingin mengalaminya lagi.
"Baik, Bu. Kita semua akan berdoa sebanyak-banyaknya."
"Kita pasrah dan serahkan saja semuanya pada Allah."
"Benar, bukan hal yang mustahil bagi Allah untuk menolong hamba-Nya."
"Masya Allah, kalian pintar sekali." Guru itu tersenyum. Hatinya terharu. "Insya Allah semuanya akan baik-baik saja. Nanti akan kami kabari kalian semua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2
RomanceFollow dulu sebelum baca. Bert Ertugrul, seorang personel dari pasukan khusus IDF, Unit Mistaravim yang kaku, berhati dingin dan tidak pernah percaya dengan cinta. Sersan Bert tidak pernah ingin memiliki ikatan serius dengan seorang wanita. Selama k...