Jangan lupa follow, vote dan komen jika suka dengan cerita ini. Biar aku semakin semangat nulisnya. Terima kasih.Selamat membaca.
****
"Ibuuuu! Kak Asima! Ayaaah!"
Lengkingan suara Filistin yang sangat nyaring dan khas membuat tiga orang yang semula tengah berkumpul di tengah tenda tersentak. Qasim, Laila dan Asima saling menatap sembari mengulas senyum. Mereka bergegas berdiri, lalu melangkah gontai menuju pintu tenda.
Laila menyingkap pintu tenda biru sambil membekap mulut. Lututnya gemetar, tak kuasa menahan bahagia serta haru yang membuncah dalam dadanya. Putri bungsu yang sudah sangat ia rindukan kini ada di seberang sana, berlari tersuruk-suruk menuruni anak bukit yang hijau. Sore itu angin senja bertiup kencang hingga kerudung panjang Filistin melambai-lambai.
"Filinnn!"
"Ibuuu! Ibuuu! Aku sangat merindukanmu!"
Napas Filistin terputus-putus sesampainya ia di hadapan sang ibu. Dadanya sedikit sesak akibat berlari terlalu kencang sedari tadi. Iris birunya mengunci mata biru sayu milik Laila. Ia menghambur dalam pelukan wanita bergamis hitam itu. Filistin tersenyum di sela tangisnya.
"Alhamdulillah, akhirnya kau pulang, Nak. Kau baik-baik saja, bukan?"
"Alhamdulillah, Bu. Aku baik-baik saja. Tidak terluka sedikit pun. Lihatlah."
Filistin membentangkan tangan. Senyum manisnya melebar, memamerkan deretan gigi kecil putihnya yang rapi. Lalu ia kembali memeluk Laila, mengecup kedua pipi tebal dan tangannya. Begitu pun dengan Laila, kini bergantian menciumi Filistin seraya mengucap syukur.
"Ayah! Kak Asima!"
Filistin mengalihkan pandang pada wanita bergamis ungu di samping ayahnya. Ia lantas merengkuh tubuh kakaknya dan memeluknya sangat erat. Hatinya bergemuruh kala tangis Asima yang memilukan pecah di telinga. Dapat ia rasakan tetesan air hangat merembas di pundaknya.
"Kakak, berhentilah menangis. Aku baik-baik saja. Lihat."
Filistin melepas pelukan. Ditangkupnya wajah oval milik Asima yang basah. Netra biru sang kakak terus meluruhkan bening. Gadis kecil itu menyekanya, lalu menciumi pipi Asima.
"A--aku sangat mengkhawatirkanmu. Syukurlah kau telah pulang. A--apa ada yang ... yang menyentuhmu di sel?"
Filistin menggeleng cepat. "Tidak ada. Allah telah menjagaku."
"Alhamdulillah."
Asima terisak. Ia sangat bersyukur adiknya tidak mengalami nasib buruk sepertinya dulu.
Qasim mengusap lelehan bening di pipinya. Ia mengelus punggung Asima, lalu memeluk kedua putri kesayangannya sambil merapal doa dan syukur. Hatinya bergetar atas kuasa Sang Khalik yang telah melindungi putrinya hingga bisa kembali berkumpul bersama.
Kedua kaki Filistin terpaku sejenak. Ia mematung di tempat saat Laila menarik tangannya untuk masuk ke tenda. Pedih menjalar di hatinya melihat tenda biru berukuran besar itu. Di sekeliling tenda terdapat kayu-kayu serta seng yang telah memerah. Di perjalanan, Al memang sudah menceritakan jika rumahnya telah dihancurkan. Namun tetap saja ia syok melihat tempat tinggalnya kini.
"Ayo, masuk, Ibu sudah masak banyak untukmu."
Suara berat Al membuat Filistin tersentak. Ia mengusap wajah basahnya yang layu, lalu menoleh mengintap wajah teduh Al seraya terseyum tipis.
Sesampainya di dalam, netra birunya menjelajahi setiap sudut tenda dengan seksama. Hatinya mendadak sesak. Rumahnya dulu hanya satu lantai dan sangat sederhana. Namun jika dibandingkan dengan tenda ini, tentu saja rumahnya yang dulu jauh lebih layak tinggal dan nyaman. Filistin menghela napas panjang. Ia harus ikhlas menerima cobaan ini. Filistin bersyukur keluarganya tidak ada satu pun yang dilukai oleh para tentara bejad itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2
RomantiekFollow dulu sebelum baca. Bert Ertugrul, seorang personel dari pasukan khusus IDF, Unit Mistaravim yang kaku, berhati dingin dan tidak pernah percaya dengan cinta. Sersan Bert tidak pernah ingin memiliki ikatan serius dengan seorang wanita. Selama k...