"Usiamu sudah 40 tahun dan usia kami sudah semakin tua. Ibu dan Ayah hanya ingin melihatmu menikah dan memiliki keturunan. Kami sangat ingin menggendong cucu."
"Tapi, Bu, aku sungguh tidak bisa. Aku tidak bisa menikah dengan wanita yang tidak aku cintai. Aku hanya mencintai Filistin."
"Ibu sangat mengerti perasaanmu. Tapi, mau sampai kapan kau menutup hatimu seperti ini? Usiamu sudah matang dan pekerjaanmu juga sudah mapan. Kau butuh pendamping hidup agar hatimu tentram. Beri kesempatan hatimu untuk jatuh cinta lagi. Kehidupanmu terus berjalan, Bert. Kau berhak menikmati hidup dan bahagia. Ibu tidak tahu kapan ajal akan menjemput kami. Setidaknya, jika kau sudah menikah, hati Ibu dan Ayah akan tenang."
Bert mengusap wajah kala teringat akan percakapannya bersama Yasemin beberapa hari lalu. Pria itu terbaring di ranjang. Tatapannya lurus mengintai langit-langit kamar bercat putih. Entah sudah berapa wanita yang Yasemin dan Ismail kenalkan padanya. Namun, tidak ada satu pun wanita yang bisa mencuri hatinya. Bert memang sudah mati rasa. Ia tidak akan mungkin bisa jatuh cinta lagi. Sudah empat belas tahun kepergian Filistin berlalu. Namun, Bert masih belum bisa melupakan gadis itu.
"Yang telah pergi tidak akan mungkin bisa kembali, Bert. Menikahlah, maka kau akan menemukan kedamaian. Apa kau ingin menjadi perjaka tua? Menikah itu ibadah dan wajib bagi lelaki yang sudah mampu. Ingat itu!"
Bert menggulingkan badan saat perkataan Aaron terngiang-ngiang di benaknya. Kini Bert tidur tengkurap. Bantal putih yang empuk itu melesak saat Bert membenamkan wajahnya.
"Menikah?" Bert kembali mengubah posisi tubuhnya hingga telentang. "Apa iya, aku harus menikah?"
Bert mendadak sangat frustasi. Kedua matanya terpejam rapat. Mana mungkin Bert bisa menikah dengan wanita yang tidak ia cintai? Apalagi sampai mempunyai anak? Bert menggeleng.
"Tidak bisa! Aku tidak bisa!"
Bert membuka kedua matanya. Ia memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut sakit. Ia sadar, apa yang diucapkan ibunya dan Aaron memang benar. Tidak seharusnya ia terus meratapi kepergian Filistin dan terus terpuruk seperti ini. Bert tidak boleh egois. Terlebih lagi keadaan ayahnya yang sekarang sering jatuh sakit. Bert tidak ingin menyesal di kemudian hari karena tidak bisa mewujudkan keinginan Ismail dan Yasemin yang sudah sangat ingin melihatnya menikah dan punya anak.
Bert melirik sebuah jam yang terpajang di nakas, di samping ranjangnya. Waktu sudah menunjukkan pukul duabelas malam. Bert beringsut duduk. Ia diam sejenak, lalu segera melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk berwudhu.
"Mungkin sebaiknya aku salat istikharah dan meminta petunjuk pada Allah."
****
Bert melangkah lebar menuju halaman depan rumahnya. Di sana, Yasemin dan Ismail tengah duduk bersuah ditemani secangkir teh hangat dan beberapa toples kue kering.
"Ayah, Ibu." Bert duduk di sebuah kursi kosong yang berhadapan dengan ayah dan ibunya.
"Kau ingin meminum teh?" tanya Yasemin lembut.
Bert menggeleng. "Tidak, Bu. Hmm ... sebenarnya, aku ingin menyampaikan sesuatu."
Yasemin menaruh secangkir teh yang baru saja ia seruput. Ia balas menatap Bert dengan serius. Wajah wanita tua itu tetap cantik meskipun sekarang permukaan kulit wajahnya sudah mengendur.
"Katakanlah apa yang ingin kau sampaikan, Nak."
"A-aku ... aku bersedia untuk menikah."
Kedua mata Yasemin melebar sempurna. Mulutnya pun ternganga mendengar ucapan Bert barusan. Ia menoleh pada suaminya, sepasang mata Ismail pun berkilat senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2
RomanceFollow dulu sebelum baca. Bert Ertugrul, seorang personel dari pasukan khusus IDF, Unit Mistaravim yang kaku, berhati dingin dan tidak pernah percaya dengan cinta. Sersan Bert tidak pernah ingin memiliki ikatan serius dengan seorang wanita. Selama k...