Waktu bergulir sangat lama bagi Filistin. Ia melalui hari-harinya dengan penuh perjuangan dan kesabaran. Filistin telah melewati ulang tahun, ramadhan dan Idul Fitri tahun ini di balik jeruji besi. Sudah genap tiga bulan ia mendekam di sana.
Sepasang iris birunya tampak kosong, menatap besi-besi yang menjulang dan sangat kokoh itu. Biasanya jam pagi seperti ini ia tengah mengerjakan tugas-tugas dari gurunya. Ia rindu bau buku di perpustakaan. Pasti ia sudah banyak ketinggalan pelajaran di sekolah.
Gadis itu duduk bersandar pada tembok berlumut sambil memeluk kedua lututnya. Ia menggigil, lalu terisak tanpa suara. Lengkungan hitam di bawah garis matanya sangat kentara. Pipi tirusnya semakin tipis dan bibirnya pucat mengering. Sudah dua hari ia tidak enak badan dan demam. Filistin menangkup wajah. Dia tidak ingin mati di penjara dengan sia-sia. Tak lelah bibir tipisnya melangitkan dzikir serta doa-doa. Ia yakin Tuhan Maha Mendengar, hanya saja mungkin doanya belum dapat dikabulkan. Filistin harus tetap bersabar.
"Filistin, ayo, makan buburnya."
Filistin tersentak dari lamunan saat Hala mengusap tangannya. Sejak tadi dia mengabaikan semangkuk bubur yang tergeletak di lantai. Ia menatap bubur itu sekilas, lalu beralih menatap netra kelabu Hala dengan sendu.
"Aku tidak berselera makan. Mulutku pahit."
"Aku mengerti, tapi kau harus tetap makan agar bisa sembuh. Bukankah kau ingin sembuh?"
Filistin mengangguk lemah.
"Kalau begitu, ayo, makanlah. Aku akan menyuapimu."
Hala mengulas senyum manis memamerkan gigi kelincinya. Ia meraih bubur itu, lalu mulai menyuapi Filistin dengan telaten.
Hati Filistin menghangat. Hala sangat baik dan lembut padanya layaknya seorang kakak. Hala mengingatkannya pada Al Quds dan Asima yang juga sering memanjakannya. Ia mengunyah bubur itu pelan-pelan. Meskipun dingin, pahit dan hambar, Filistin harus memakannya. Netra sayunya mengedar ke setiap penjuru sel. Tahanan anak-anak dan para wanita paruh baya tampak sedang melamun. Sebagian dari mereka ada yang mogok makan karena ingin dibebaskan. Sedangkan Maryam dan sebagian tahanan lain baru saja dibebaskan dua hari yang lalu. Lalu entah kapan dirinya, Hala dan tahanan lain akan dibebaskan? Filistin sangat merindukan keluarganya.
Pintu besi berderit nyaring, disusul dengan dua orang sipir Israel berwajah garang yang memasuki sel. Mereka berdiri tegak dengan tatapan mengintimidasi, mengedar ke setiap sudut ruangan pengap itu.
"Filistin! Hari ini kau dibebaskan!"
Filistin berhenti mengunyah. Bola mata birunya membesar, ia menatap Hala yang juga tengah melebarkan matanya. Apakah barusan dia tidak salah mendengar? Filistin masih membeku di tempatnya.
"Cepat ganti pakaianmu! Kami beri waktu hanya lima menit!"
"Aku bebas!" seru Filistin tak percaya. Dia menatap Hala dengan mata berkaca-kaca. Sebulir bening bahkan sudah menggantung di sudut matanya. "Ha--Hala, aku bebas! Alhamdulillah." Filistin terisak.
"Alhamdulillah, akhirnya doamu dikabulkan. Sekarang cepat tukar pakaianmu. Jangan membuat mereka marah." Hala tesenyum penuh haru. Sepasang netra kelabunya berair.
Filistin mengangguk antusias. Ia berlari dengan tersuruk-suruk menuju kamar mandi di belakang sel. Tubuhnya yang semula lemas kini seperti mendapat asupan energi, mendadak sangat semangat. Tak lama ia sudah menukar baju tahanan dengan bajunya yang dulu ia pakai saat ditangkap. Kaus lebar biru berlengan panjang dan celana jeans hitam. Ia mengayunkan langkanya dengan gontai menghampiri Hala dan para tahanan lain untuk berpamitan. Hatinya menjadi tidak enak sebab hanya ia yang dibebaskan hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2
RomantizmFollow dulu sebelum baca. Bert Ertugrul, seorang personel dari pasukan khusus IDF, Unit Mistaravim yang kaku, berhati dingin dan tidak pernah percaya dengan cinta. Sersan Bert tidak pernah ingin memiliki ikatan serius dengan seorang wanita. Selama k...