"Filin, apakah disunat akan sakit?"
"Aku tidak tahu, Bert. Aku belum pernah disunat. Apa ... kau takut?" Filistin berbisik di seberang telepon.
Lelaki itu terdiam. Smart phone masih melekat di telingnya. Sudah setengah jam mereka bersuah. Bert sudah rapi dan tampak maskulin dengan kemeja hitam berlengan pendek dan balutan celana chino krem.
"Bert! Kau melamun?"
"Emh i-iya, maaf."
"Kau takut?"
"Sedikit. Tapi, aku tidak akan berhenti di tengah jalan. Kau tenang saja."
"Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu. Kau harus semangat, ya? Aku selalu mendoakanmu. Semoga semuanya lancar."
"Terima kasih dan tentu saja aku akan selalu semangat jika bersamamu."
Filistin terkekeh pelan. "Semangat! Kau pasti bisa."
Bert tersenyum tipis. "Filin, mungkin untuk beberapa hari atau, seminggu ini, aku tidak bisa pergi ke bukit sampai keadaanku membaik. Tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, aku mengerti. Tetapi, aku pasti akan sangat merindukanmu."
"Aku pun."
Filistin mengulum senyum di seberang sana.
"Filin, aku harus segera pergi ke rumah Paman Latif."
"Hmm ... hati-hati dan bismillah."
"Apa itu bis-bis-millah?"
"Sebuah doa yang artinya, dengan menyebut nama Allah."
"Oh." Bert tersenyum manis. Lidahnya masih kaku untuk mengikuti apa yang barusan Filistin ucapkan. "Sampai jumpa nanti. Muach."
"Asragfirullah, Bert! Kau sangat berdosa!"
"Kenapa berdosa, hm? Bukankah aku tidak menciummu secara langsung. Tadi, aku hanya mencium ponselku."
"Te-tetap saja itu tidak boleh!"
Bert terkekeh pelan mendengar nada Filistin meninggi dan penuh penekanan serta sedikit terbata. Lelaki jangkung itu meraih bantal sofa, lalu memeluknya erat karena sangat gemas. Jantungnya berdebar dan kedua pipinya memanas.
"Baiklah, maaf. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi."
"Oke."
"Bye, Sweet Girl.''
"Bye, Angry Bert!"
Senyum Bert melebar setelah sambungan telepon terputus. Dulu ia sangat marah jika gadis itu memanggilnya Angry Bert dan menyamakannya dengan Angry Bird. Tapi, sekarang tidak lagi, sebab Filistin bilang itu adalah panggilan kesayangan untuknya.
"Bert, ayo, kita berangkat sekarang!"
Bert menoleh pada Maria yang baru saja tiba di dasar tangga. Wanita paruh baya itu sudah rapi dengan pakaian semi-formal dan tas kulit hitam di tangannya.
Bert berdiri. Kedua netra hijaunya berbinar, menatap lekat penampilan Maria. "Malam ini kau cantik dan sangat anggun. Apa kau sengaja berpakaian seperti itu karena ingin mengantarku bertemu dengan Paman Latif?"
Maria mengulas senyum saat Bert berjalan tegas menghampirinya. Kini mereka berdiri saling berhadapan dan tampak seperti angka 10 jika dilihat dari jauh.
"Aku berpakaian seperti ini karena ini adalah malam yang sangat spesial untukmu, Nak. Bibi juga sudah membawakan kain dan celana pendek untukmu." Maria mengulum senyum. "Kau harus tenang, oke? Jangan tegang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2
Roman d'amourFollow dulu sebelum baca. Bert Ertugrul, seorang personel dari pasukan khusus IDF, Unit Mistaravim yang kaku, berhati dingin dan tidak pernah percaya dengan cinta. Sersan Bert tidak pernah ingin memiliki ikatan serius dengan seorang wanita. Selama k...