Pagi yang sangat cerah. Embusan angin bertiup kencang hingga membuat tenda-tenda yang terbuat dari kain terpal di perbukitan itu kembang-kempis dan menimbulkan bunyi yang khas.
Filistin sudah siap dengan seragam sekolah. Semangat membuncah dalam dadanya. Bibir tipisnys tersenyum manis, lalu keluar dari tenda dan bergegas menghampiri kedua orang tuanya.
Qasem dan Laila tampak sedang sibuk memetiki jagung-jagung dari tangkainya. Mereka menggelar layar di atas rerumputan hijau di samping tenda.
"Masya Allah, siapa yang telah memanen jagung, Bu? Kenapa banyak sekali jagungnya? Apakah semua jagung itu untuk kita?" tanya Filin sesampainya di hadapan Laila. Gadis itu berjongkok, lalu memainkan jagung-jagung hijau berukuran besar sambil terus memamerkan gigi-giginya yang putih bersih.
"Ini bukan milik kita, Sayang. Tadi, Al Quds dan Tuan Omar meminta Ibu untuk membantu memetiki jagung-jagung ini. Nanti siang mereka akan mengambilnya dan membawanya ke pasar."
"Masya Allah." Netra biru Filistin berbinar. Ia mengambil satu jagung besar yang kulitnya sangat hijau, memainkan rambut jagungnya dan menciumnya sangat dalam. Filistin sangat senang menyesap aroma khas jagung manis. "Maha Besar Allah yang telah merahmati negeri ini. Kita memiliki tanah yang sangat subur untuk menanam sayur dan buah-buahan. Apakah jagung ini dari Bait Lahiya?"
Laila mengumpulkan jagung-jagung yang telah ia petik dan memisahkannya dari tangkai dan tumpukan daun. Lalu ia menoleh pada Filistin.
"Tebakanmu benar, ini dari Bait Lahiya. Tuan Omar melelangnya dari petani di sana."
Filistin mengangguk sambil tersenyum.
"Filin."
"Iya, Ayah?''
Filistin menoleh pada Qasem yang sedang memasukkan jagung-jagung pada beberapa karung dan memisahkan jagung sesuai ukurannya.
"Apa yang sedang Asima lakukan? Di mana dia?"
"Kakak sedang mencuci piring."
"Pantas lama sekali. Tadi, Ayah menyuruhnya untuk menyeduhkan teh."
"Mungkin sebentar lagi akan datang." Filistin menoleh ke arah tenda. "Itu Kakak!" serunya riang, lalu tersenyum manis melihat Asima berjalan menghampiri mereka dengan dua cangkir di tangannya.
"Maaf, Ayah. Tadi, aku mencuci piring dulu." Asima tersenyum hangat, lalu duduk di samping ayahnya. Netra birunya sangat teduh.
Qasim yang sudah sangat dahaga segera menyambar cangkir teh tersebut dari Asima. Lelaki paruh baya berkumis tipis itu merapal doa, lalu menyeruput teh hangatnya dengan sangat khidmat dan penuh syukur.
"Alhamdulillah. Teh buatanmu memang selalu yang terbaik. Pekat dan manisnya selalu pas."
Asima menggeleng, lalu mengulum senyum karena pujian sang ayah. Kemudian ia mengelusi puncak kepala Filistin dengan penuh sayang.
"Asima, ada yang ingin Ayah sampaikan padamu."
"Iya, Ayah. Katakanlah. Apakah sangat penting? Kenapa tiba-tiba wajahmu serius seperti itu?"
"Iya, ini sangat penting." Qasem berdeham, lalu menaruh cangkir tehnya di dekat sebuah radio yang tergeletak di layar. "Kau sudah cukup dewasa, Nak. Jadi, Ayah dan ibumu telah sepakat ingin menikahkanmu dengan lelaki shaleh."
Filistin melebarkan mata dan mulutnya. Lalu ia membekap mulut, menoleh pada Asima dan memeluknya sangat erat hingga Asima meringis.
"Filin! Kau membuatku sesak."
Filistin melepas pelukan, lalu tawanya pecah. "Maaf, Kakak. Aku terlalu kaget dan senang."
Asima menghela napas. Ia kehilangan selera untuk tersenyum dan tiba-tiba hatinya gelisah. Ia mengunci sepasang netra cokelat ayahnya dengan sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2
RomansaFollow dulu sebelum baca. Bert Ertugrul, seorang personel dari pasukan khusus IDF, Unit Mistaravim yang kaku, berhati dingin dan tidak pernah percaya dengan cinta. Sersan Bert tidak pernah ingin memiliki ikatan serius dengan seorang wanita. Selama k...