"Apa Kakak masih belum mau memberikan restu?"
Al Quds menghela napas saat tiba-tiba suara Filistin menusuk indra pendengarannya. Ia menoleh, menarik lengan Filistin untuk duduk di sampingnya. Keduanya menatap Asima yang tengah berbincang dengan bibi Khadijah.
"Sampai kapan pun Kakak tidak akan pernah menerima lelaki berengsek itu, Filin. Aku tidak bisa."
Al Quds mengusap wajah. Dia sangat bimbang dengan keputusan apa yang harus dia ambil. Bert terus saja menemuinya untuk melamar Asima. Di sisi lain, Asima sudah menerima cinta lelaki sialan itu dan Filistin terus saja mendesaknya untuk memberikan restu. Sebagai kakak tertua, ia sangat dilema menghadapi situasi ini. Al Quds tidak ingin menyakiti perasaan salah satu dari kedua adiknya. Jika saja Asima tahu kalau sebenarnya Filistin dan Bert saling mencintai, ia takut wanita itu akan shock dan mengalami guncangan mental kembali. Asima baru saja sembuh total dari trauma masa lalunya, ia tidak ingin mengulang penderitaan Asima. Tetapi, bagaimana dengan perasaan Filistin jika ia sampai memberi restu pada Bert dan Asima? Al Quds mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghela napas berat.
"Kakak jangan mengkhawatirkan perasaanku. Aku baik-baik saja. Sungguh a-aku justru sangat berharap mereka bisa menikah. Kak Asima pasti akan sangat bahagia bisa memakai gaun pengantin yang indah" Fistin tersenyum tipis, lalu menggigit pipi dalamnya untuk menghalau sesak di dada. Kedua iris birunya sudah basah.
"Kau bisa berbicara seperti itu. Tapi, kedua matamu tidak bisa membohongiku."
Al Quds sangat mengerti perasaan adik bungsunya. Begitu pun dengan Filistin yang sangat mengerti bagaimana jika berada di posisi Al Quds.
"Kumohon berikan mereka restumu." Filistin menyeka air matanya. "Apa Kakak tidak ingat apa impian terbesar Ayah dan Ibu?" Filistin tersenyum manis, meskipun dadanya berdenyut perih. "Mereka ingin melihat Kak Asima sembuh, bahagia dan menikah. Apa Kakak tidak mau mewujudkan keinginan terakhir Ayah dan I-ibu?!" desaknya sambil terisak. Bening hangat semakin deras mengaliri kedua pipinya yang tirus.
"Filin ...."
Al Quds kehilangan kata-kata. Ia menarik tubuh mungil Filistin dan memeluknya sangat erat. Tentu saja dia sangat ingat tentang keinginan kedua orang tuanya sebelum meninggal. Ia juga sangat ingin mewujudkannya.
"A-aku mohon. Lihatlah, sekarang Kak Asima sangat bahagia. Dia sudah menemukan cintanya. Biarkan Bert menebus semua kesalahannya. Dia harus bertanggung jawab. Dia harus mengganti penderitaan Kak Asima dengan kebahagiaan. Kak Asima pantas bahagia."
"Ka-Kakak tidak bisa, Filin. Bagaimana dengan perasaanmu?"
"Aku sudah ikhlas, Kak. Kau tenang saja. Dari dulu aku sudah berjanji untuk melupakannya." Filistin menghela napas. "Lagipula aku masih sekolah. Masa depanku masih sangat panjang. Aku ingin mewujudkan cita-citaku terlebih dahulu, Kak. Kebahagiaan Kak Asima lebih penting dari segalanya untukku."
Al Quds mengangguk. Sebulir bening terbit dari sudut matanya, ia segera menyekanya dan merengkuh tubuh Filistin dalam dekapan.
"Kakak sangat bangga padamu, kau sudah tumbuh menjadi gadis dewasa. Ayah dan Ibu pasti sangat senang dan bangga padamu."
Hati Filistin menghangat saat Al Quds mengecup puncak kepalanya. Dalam hati ia terus merapal doa agar hatinya dikuatkan.
Angin sore itu berembus sangat sejuk. Filistin dan Al Quds kembali mengintai Asima dari kejauhan.
Semakin hari wajah Asima semakin berseri-seri dengan senyum yang terus menempel. Setelah sekian lama semenjak tragedi pemerkosaan itu, baru kali ini lagi wanita itu bisa tertawa lepas. Asima menjadi lebih semangat menjalani hari-harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2
Storie d'amoreFollow dulu sebelum baca. Bert Ertugrul, seorang personel dari pasukan khusus IDF, Unit Mistaravim yang kaku, berhati dingin dan tidak pernah percaya dengan cinta. Sersan Bert tidak pernah ingin memiliki ikatan serius dengan seorang wanita. Selama k...