Bab 16 | Berbunga-Bunga dan Keputusan Bert

809 142 61
                                    

Kendaraan waktu melaju begitu cepat. Sudah sekitar sebulan hubungan Bert dan Filistin semakin akrab. Hampir setiap hari mereka menghabiskan senja bersama di perbukitan Hebron. Bert sering memberinya cokelat dan juga memetikkan bunga kamomil putih untuknya, seperti halnya hari ini. Keduanya sering bertukar cerita, tertawa bersama dan tanpa mereka sadari, hati keduanya kini sudah saling terikat dan saling membutuhkan. Filistin dan Bert sama-sama nyaman ketika bersama. Meskipun, hingga detik ini di antara mereka berdua belum ada yang berani mengungkapkan cinta.

Filistin mengulas senyum. Ia ingin hubungannya dengan Bert mengalir seperti air. Cukup Sang Khalik saja yang tahu jika gadis Tepi Barat itu mencintai Bert. Dapat melihat senyum dan sepasang iris hijau Bert saja sudah membuat hatinya bahagia, Filistin tidak ingin berharap lebih. Ia tidak ingin merusak keakraban mereka. Ia tidak ingin Bert menjauh darinya. Sebab Filistin tahu jika lelaki itu hanya menganggapnya sebagai teman, tidak lebih.

Ada satu hal yang membuat hati Filistin sangat berbunga-bunga kala mengingatnya. Ia senang mendengar Bert sudah mengundurkan diri dari dunia militer. Ia senang ketika Bert menceritakan padanya tentang kisah cinta letnan Aaron dan Aisyah. Gadis itu semakin yakin jika suatu saat nanti Bert akan memeluk Islam. Ia semakin bersemangat melangitkan doa-doa tulusnya agar Bert segera mendapat hidayah.

"Aku pulang ...!"

Gadis berhijab putih itu belari menuruni perbukitan hijau dan rimbun. Bibir tipisnya yang merah mengembang manis. Ia mengacungkan seikat bunga kamomil kuning yang digenggamnya. Napasnya berembus tak betaturan dan jantungnya masih berdegup kencang. Sementara anak dombanya sudah melompat-lompat lebih awal dan merumput di sekitar tenda.

Seperti biasa, gadis itu baru saja pulang mengembala di bukit dan bertemu dengan Bert secara diam-diam. Beruntung karena hingga sekarang Al Quds belum pernah mengetahui rahasia besar tersebut.

Di pelataran tenda biru tampak keluarga kecilnya sedang bercengkrama sembari menanti adzan maghrib. Al Quds yang semula sibuk memotong kayu dengan kapak berhenti sejenak. Ia meraih handuk kecil yang tersampir di lehernya, lalu mengusap peluh yang mengucur dari pelipis. Ia menyuguhkan senyum manis pada Filistin, memamerkan gigi gingsulnya.

"Kau sudah pulang." Laila ikut tersenyum.

"Iya, Bu."

"Cepat mandi, sebentar lagi maghrib."

"Baiklah!"

Ayahnya sedang menjahit sebuah jaring berwarna biru yang biasa ia gunakan untuk menangkap ikan. Lelaki paruh baya itu duduk bersisiaan dengan Asima yang ikut membantunya. Mereka menggelar tikar.

"Kakak, ini bunganya. Lihatah, cantik sekali, bukan? Aku memetik banyak untukmu," ujar Filistin sesampainya di depan Asima.

Asima melebarkan senyum. Netra birunya berbinar. Lalu ia menerima bunga pemberian Filistin, mencium aromanya yang khas sambil tersenyum tipis.

"Terima kasih, Filin. Aku akan menaruhnya dalam botol air."

Filistin mengangguk diiringi senyum.

Asima mengalihkan atensinya pada setangkai bunga kamomil putih yang Filistin genggam erat. Netranya semakin berkilau.

"Wah, ada yang putih juga? Berikan padaku biar kutaruh bersama dengan kamomil kuning ini."

Mata Filistin melebar. Ia menggeleng cepat, menyembunyikan bunganya di balik punggung. Ia persis anak kecil yang tidak ingin mainan kesayangannya direbut.

"Tidak boleh! Kakak yang kuning saja sudah banyak. Bunga ini milikku. Kalau Kakak mau, lain kali aku akan memetiknya untukmu, ok?"

Asima menghela napas, jelas wanita pecinta bunga itu sangat kecewa. Namun, tak lama ia kembali tersenyum manis, menatap seikat bunga kuning di tangannya. Hatinya damai setiap kali melihat bunga yang bermekaran.

Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang