"Safe flight." Ze'ef tersenyum hangat."Terimakasih. Sekali lagi aku minta maaf, waktu itu, aku sudah menghajarmu."
"Sudahlah, jangan dibahas lagi. Aku sudah melupakannya dan aku sudah memaafkanmu dari dulu. Bagiku kau tetap sahabat terbaik." Ze'ef tersenyum tulus.
Bert menjabat tangan Ze'ef, lalu mereka berpelukan erat.
"Terimakasih banyak, Ze'ef. Kau memang sahabat terbaikku."
Bert dan Ze'ef melepas pelukan kala Amit berdeham kencang.
"Tega sekali kalian tidak menganggapku,"cetus Amit dengan tatapan sendu.
Bert dan Ze'ef terkekeh pelan, begitu pun dengan Maria yang ikut tertawa melihat ekspresi wajah Amit yang lucu.
"Kalian berdua sahabat terbaikku. Aku berjanji tidak akan pernah melupakan semua kebaikan kalian." Bert memeluk Amit dengan erat. "Jika kalian ada waktu luang, datanglah menemuiku."
"Tentu saja, kapan-kapan aku ingin ke Arizona. Sekalian berlibur dan mencari inspirasi untuk menulis. Asal kau yang membayar tiket pesawat dan membiayai kebutuhan hidupku di sana," tutur Amit dengan cengiran khasnya.
Bert mendesis. "Kau ini. Baiklah ... nanti kabari aku saja kapan kau ingin pergi."
Amit mengacungkan jempol. Senyumnya semakin melebar dan iris hitamnya berbinar. Sedangkan Maria dan Ze'ef menggeleng pelan.
"Ibu."
Maria terenyuh kala Bert mencium punggung tangannya. Hatinya menghangat saat Bert merengkuhnya dalam pelukan, lalu mencium lembut kedua pipinya.
"Aku pasti akan sangat merindukanmu, Bu." Bert melepas pelukan. "Berjanjilah padaku, Ibu jangan terlalu capek. Ibu harus jaga kesehatan dengan baik."
Maria mengangguk diiringi senyum haru. "Iya, Ibu berjanji. Kau pun sama, jaga kesehatan dan semoga selalu bahagia di sana dengan Ayah dan Ibumu. Sampaikan salamku pada mereka."
Bert mengangguk. Ia menyeka lelehan air matanya. "Beri tahu aku kapan pun Ibu ingin datang, aku akan mengurus tiket untukmu."
Maria menggangguk seraya terisak. "Pergilah, nanti kau terlambat."
Bert mengangguk. Ia memeluk Maria sekali lagi dengan erat. Lalu ia menggeret koper hitamnya dan melangkah pelan meninggalkan Maria dan kedua sahabatnya.
Riuh rendah obrolan orang yang berpapasan dengannya memekakkan telinga. Bert menggenggam pasport dan boarding pass-nya dengan erat. Saat ini ia berada di bandara internasional Ben Gurion.
"Hei, kalian berdua! Berjanjilah untuk menjaga Ibuku dengan baik!" teriak Bert, lalu melambaikan tangan pada Maria, Ze'ef dan Amit. Hatinya bergemuruh. Ia mengusap sebutir bening yang kembali terbit di ujung matanya.
"Kau jangan khawatir, kami akan menjaganya!" seru Ze'ef dan Amit seraya melambaikan tangan.
Maria melambaikan tangan diiringi tangis yang memilukan. Ia menatap sendu punggung tegap Bert yang perlahan mulai menghilang dari pandangan. Sebenarnya, hati Maria sangat berat harus berpisah dengan Bert. Bagaimanapun Bert sudah seperti putra kandungnya sendiri. Bert sudah mengajaknya untuk ikut dan tinggal bersama di Arizona. Namun, Maria tidak ingin meninggalkan Yerusalem, tempat kelahirannya. Maria ingin tetap tinggal di sana sampai menutup usia.
"Sudahlah, Bi. Jangan bersedih lagi. Masih ada aku di sini. Aku akan sering berkunjung ke rumah. Bibi, tenang saja, aku juga siap mencicipi semua masakan Bibi yang lezat-lezat. Jadi, Bibi bisa terus memasak sesuka hati. Bukankah memasak adalah hobi Bibi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2
RomansaFollow dulu sebelum baca. Bert Ertugrul, seorang personel dari pasukan khusus IDF, Unit Mistaravim yang kaku, berhati dingin dan tidak pernah percaya dengan cinta. Sersan Bert tidak pernah ingin memiliki ikatan serius dengan seorang wanita. Selama k...