Sesampainya di rumah, Bert membanting pintu utama dengan sangat kasar. Kemeja putih yang ia pakai sudah acak-acakkan. Begitu pun dengan rambut cokelat terangnya yang kusut. Ia berjalan tegas menuju ruang tengah sambil melucuti blazer biru itu, lalu melemparnya ke lantai.
Amit, Ze'ef dan Maria yang sedang bercengkrama sambil menonton televisi, menoleh pada Bert saat menyadari kehadiran lelaki itu.
"Bert, kau sudah pulang?" Maria tersenyum ramah.
Amit dan Ze'ef menatap penampilan Bert dengan mata melebar. Kerutan kecil timbul di dahi keduanya.
Bert menoleh sekilas. Bibir tipisnya terkatup rapat dan kedua netra hijau itu memerah. Kemudian ia berlalu dengan gontai menaiki undakan tangga, tanpa minat menyapa Maria dan kedua sahabatnya.
"Ada apa dengannya? Kenapa kacau seperti itu?"
Ze'ef mengangkat bahu saat Amit menyenggol sikunya. "Tadi, dia pamit akan bertemu dengan Filistin."
Amit berkedip, lalu saling mengunci pandang dengan Maria.
"Apakah masalah di antara mereka belum selesai?" tanya Amit lagi.
"Sepertinya akan sangat sulit untuk mereka mencari jalan keluar. Konfliknya sangat rumit." Ze'ef menghela napas.
"Ya Tuhan, berilah anugerahmu dan turunkan bantuan."
Maria mengelus dada, lalu menggenggam erat kalung salibnya. Kedua netra hitam sayu wanita itu brekaca-kaca, penuh khawatir dan juga harap.
****
Bert membanting pintu kamar, lalu menguncinya dari dalam. Kemudian melepas satu per satu kancing kemeja yang ia pakai dengan sangat tergesa-gesa. Sebagian kancing sampai berhamburan ke lantai. Dadanya naik turun menahan emosi yang sudah meledak. Bert membuang kemejanya ke lantai kamar mandi.
"AAAAAAAKKKKHHHH!"
Bert menjerit sejadi-jadinya. Dinding kamar mandi yang terbuat dari bebatuan putih bergerigi menjadi sasaran pelampiasan emosi pria itu. Bert berulang kali menghantam tembok dengan sekuat tenaganya dan brutal.
"AAAAAAAAKKKKH!" Suara Bert sangat berat dan serak. Ia tak mampu menahan sesak di dadanya. "KENAPA BEGINI?! KENAPA KAU SANGAT KEJAM! AKU MENCINTAIMU, FILISTIIIN!"
Air dingin mengucur deras dari keran, mengguyur tubuhnya yang gemetar. Tangis Bert yang sangat memilukan teredam gemercik air. Tungkai kaki Bert bahkan sangat lunglai. Tak lama tubuhnya merosot. Ia menatap punggung tangannya yang lebam dan merah oleh darah.
Dia masih tidak mau berdamai dengan kenyataan. Ia tak mengerti kenapa takdir selalu tidak berpihak padanya. Dari kecil hidupnya sudah menderita. Tak pantaskah dirinya bahagia? Padahal ia sudah bertaubat dan menyesali semua dosa-dosanya.
Kenapa kekacauan ini terjadi di saat ia baru saja ingin berhijrah menjadi manusia yang lebih baik lagi?
Filistin adalah semestanya, mataharinya, pelangi yang telah memberikan banyak warna dalam kehidupan Bert yang sebelumnya sangat kelam.
Belum lama ia menemukan kedamaian dalam Islam. Baru saja ia merasakan manisnya jatuh cinta. Rasanya baru sebentar ia menemukan kebahagiaan dengan gadis itu.
Bert meringis. Ia mengusap wajah basahnya dengan sangat kasar. Sekarang semuanya hancur berantakan dalam sekejap mata. Kenyataan itu sungguh telah menjungkir-balikkan dunianya.
"Semuanya sia-sia!" raungnya sangat payah. Kepalan tangannya semakin menguat. Bahu Bert berguncang menahan perih di dadanya yang semakin menusuk.
Semua mimpi-mimpi indahnya dengan gadis itu sirna sudah. Dari sekarang Bert bahkan telah merencanakan banyak hal. Tentang pesta pernikahan yang dipenuhi bunga kamomil putih. Kelak ia ingin melamar gadisnya dengan konsep yang sangat romantis. Bert ingin menjadikan Filistin gadis yang paling bahagia di dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2
RomanceFollow dulu sebelum baca. Bert Ertugrul, seorang personel dari pasukan khusus IDF, Unit Mistaravim yang kaku, berhati dingin dan tidak pernah percaya dengan cinta. Sersan Bert tidak pernah ingin memiliki ikatan serius dengan seorang wanita. Selama k...