Bab 12 | Gadis Pengembala Domba

808 151 81
                                        


Filistin. Entah apa istimewanya gadis ingusan itu? Bert yakin, jika dia menjadi istrinya kelak pasti akan sangat merepotkan. Calon istri idaman Bert tentunya harus wanita dewasa, elegan dan pandai dalam berbagai hal. Sedangkan gadis kecil itu, Bert tidak yakin jika ia bisa memasak dan melayaninya dengan baik di ranjang. Tentu saja, gadis itu terlihat masih sangat polos dan tidak punya pengalaman dalam urusan percintaan. Bert mendesis.

Tapi ia mengakui jika gadis Tepi Barat itu memiliki paras yang sangat memesona. Wajah mungil, kulit putih, hidung mancung, bibir merah alami dan sepasang iris biru yang memukau. Ya, sangat cantik walaupun tanpa polesan makeup sedikit pun.

Bert berdeham saat sebuah tangan halus merayap menyentuh rahang tegasnya dan bermain-main di kulitnya yang kasar. Lamunannya tentang Filistin buyar seketika. Ia tak habis pikir, bisa-bisanya semua tentang gadis berkerudung itu memenuhi isi kepalanya bahkan di keramaian seperti ini. Oh, dan bagaimana bisa Bert memiliki pikiran ingin menikahi gadis ingusan itu? Ia rasa dirinya sudah tidak waras.

"Turunkan tanganmu," ujar Bert datar.

"Why?"

"Aku risih."

"Tetapi aku suka." Alina mengulas senyum sensual. "Kau sangat tampan dan lebih gagah ketika aku melihatmu secara nyata seperti ini. Berbeda saat aku hanya melihatmu di layar kaca. Oh, dan ya ... aku menyukai aroma parfummu. Ini sangat menggoda."

Alina menggigit bibir bawahnya dan itu membuat Bert sangat jijik. Ia membenci wanita agresif.

Bert menatap dingin gadis itu tepat di iris birunya. Lalu ia menurunkan tatapannya pada jemari lentik berkutek merah yang kini justru turun merabai dada bidangnya yang dibalut tuxedo broken white. Bibirnya menipis, menahan emosi yang ingin meledak.

Bert tetap bergeming, menghargai birthday girl dan tidak ingin membuat kekacaun di dalam ballroom hotel yang sangat luas itu. Meski alunan musik klasik berbahasa Ibrani yang sangat romantis membuatnya semakin tidak betah berada di sana. Tetapi dia masih punya etika dan tidak ingin membuat Jenderal Bolgen malu di depan tamu undangan yang tampak sedang berdansa. Sebagian orang bahkan tengah berbincang sambil menikmati segelas anggur dan aneka desert.

Gadis tinggi berambut pirang itu tampak sangat anggun malam ini. Dres putih di atas lutut berbahan satin membalut tubuhnya yang seksi. Belahan dada yang rendah gaun itu membuat aset pribadinya terekspos sangat jelas. Wajah oval dan bibir seksi yang menawan tak lelah meyuguhkan senyum terbaik, bermaksud memikat hati Bert. Namun pria di depannya ini justru tetap memasang wajah datar dengan tatapan dingin, seolah tak berminat padanya sama sekali. Alina berdecak dalam hatinya. Bert lelaki pertama yang mengabaikan kecantikannya seperti ini. Apakah lelaki ini tidak normal?

"Kau tidak ingin memberikanku sebuah kado, hm?" Kali ini Alina mengalungkan kedua tangannya di leher Bert, mengejar netra hijau Bert dengan tatapan manjanya.

Bert mengangkat satu alisnya, balas menatap dingin. "Apakah aku harus memberimu kado? Sudah beruntung aku sudi datang ke sini. Padahal aku sama sekali tidak mengenalmu."

Alina masih menpertahankan senyumnya meskipun hatinya mulai kesal dengan pria ini. "Hmm ... kau benar. Kita baru mengenal. Tetapi aku sudah menyukaimu dari dulu saat Ayah menceritakan semua tentang prestasimu. Well ... aku tidak menginginkan apa pun darimu. Karena kehadiriranmu di sini saja merupakan sebuah kado istimewa untukku dan aku sangat bertrima kasih pada Ayah."

"Ya, dan aku ke sini hanya karena undangan dari Jenderal Bolgen. Asal kau tahu." Bert mendesis.

"Tetapi suatu hari nanti, aku yakin kau akan menyukaiku."

"Percaya diri sekali. Tidak akan semudah itu."

"Kita lihat saja nanti."

"Turunkan tanganmu, aku ingin ke toilet."

Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang