Bab 22 | I Miss You

652 97 63
                                    

Al Quds menyibak rambut ikalnya ke belakang. Wajahnya bercahaya. Sisa-sisa air wudhu masih membasahi sekitar pelipis dan pipinya. Lelaki jangkung itu baru saja menunaikan salat duha. Ia meraih kemeja kotak-kota biru yang digantung di dinding gua, lalu segera memakainya.

Al Quds mengedarkan pandangan ke setiap sudut dinding batu yang tertutup itu. Ia sangat bersyukur bisa menemukan gua ini untuk berteduh dari hujan dan terik matahari. Meskipun pengap, gua itu cukup besar untuk dihuni oleh lima orang dan terletak masih di sekitar desa Bait Kahel. Pada malam hari, mereka mengandalkan lilin untuk penerangan dan membiarkan pintu gua terbuka untuk ventilasi udara.

Bagaimanapun, Al Quds tidak akan pernah meninggalkan desanya. Ia tidak peduli meskipun para penjajah akan menghancurkan tempat tinggalnya ratusan kali. Al Quds dan kedua adiknya akan tetap tinggal di Tepi Barat dan menjadi murobith Al Aqsa. Ia harus melanjutkan perjuangan Qasem dan Laila untuk mempertahankan Palestina.

Bibirnya mengembang setelah keluar dari gua. Netra cokelatnya berbinar melihat Filistin dan Reda sedang belajar di layar yang tergelar di atas rerumputan hijau. Sedangkan Asima dan Khadijah terlihat sedang menjemur baju di samping gua. Al Quds berjalan tegas menghampiri mereka.

Filistin yang semula tengah sibuk berkutat dengan buku paket Fisika, menoleh saat mendengar derap kaki Al Quds.

"Kakak akan berangkat ke pasar? Kukira, kau masih libur."

"Tuan Omar mendapat banyak pesanan. Kakak harus ke pasar dan membantunya untuk mengantar sayuran ke pelanggan."

"Ooh."

Filistin mengulas senyum saat Al Quds berjongkok di depannya, lalu mengusap puncak hijabnya yang berwarna merah jambu.

"Apa belum ada kabar dari guru kalian?"

Filistin menggeleng.

"Semua murid untuk sementara disuruh belajar di rumah dan mengerjakan tugas. Kepala sekolah dan para guru masih mencari tempat yang aman untuk membangun tenda sambil menunggu bantuan luar negeri untuk membangun sekolah baru." Reda bantu menjawab. Wajah putihnya bercahaya.

Al Quds mengangguk, lalu menghela napas panjang menatap Reda. Ia menoleh pada Filistin dan mengusap pipinya.

"Tetaplah semangat dan belajar yang rajin."

"Tentu, Kakak! Apa pun yang terjadi, kami akan tetap semangat belajar. Kami akan mewujudkan cita-cita kami." Filistin tersenyum riang.

"Nanti malam Kakak akan ikut berdemo dan berjaga-jaga. Mungkin pagi baru akan pulang. Kalian tidurlah bersama Bibi Khadijah."

"Ka-Kakak akan berdemo?" Filistin melebarkan mata, menatap Al Quds serius.

Al Quds mengangguk. Punggungnya sedikit terhuyung saat tiba-tiba Filistin menghambur memeluknya.

"Kakak, kumohon jangan pergi! Kita baru saja kehilangan Ayah dan Ibu! Aku takut kehilanganmu. Me-mereka akan menembakmu!"

Bahu gadis itu berguncang. Jelas saja ia merasa trauma. Hatinya sesak dan ia tak mampu menahan air matanya untuk tidak tumpah.

"Kakak jangan pergi! Tinggalah di sini. Kumohon."

"Filin." Al Quds melepas pelukan. Ia menangkup kedua pipi basah adiknya, menatapnya lekat dan teduh. "Kematian hanya rahasia milik Allah. Lebih baik Kakak mati di jalan Allah, dari pada mati berdiam diri melihat penindasan di luar sana. Kakak harus ikut menegakkan keadilan. Zionis akan membangun permukiman di Jabal Sbeih, Kakak harus ikut berdemo dengan warga di desa Beita. Insya Allah, semua akan baik-baik saja. Doakan kami."

Filistin mengangguk. Hatinya bergemuruh saat kedua mata mereka beradu. Bibirnya merekah saat Al Quds tersenyum padanya.

"Kalau begitu pergilah, Kakak. Aku menitipkanmu pada Allah. Isnya Allah, Allah akan melindungi dan menjaga setiap langkah hamba-Nya yang tulus berjihad di jalan Allah sepertimu. Suatu saat nanti, kau akan menjadi seorang Komandan HAMAS, bukan?"

Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang