Bab 37 | Di Balik Cadar Putih

291 29 21
                                    

Dunia seolah berhenti berputar saat wanita di hadapan Bert melepas cadar putih yang menutupi wajahnya. Hingga kini terpampang jelas wajah cantik wanita berusia tiga puluh tahun itu. Masih dengan kedua mata yang melebar, Bert terpaku di tempatnya berpijak.

"Fi-Filistin!" ujarnya susah payah. Lidahnya mendadak kelu.

Bert membeku. Jantungnya berdetak kencang. Wajah Filistin tetap cantik seperti dulu meskipun terdapat bekas luka jahitan di bawah pipi kirinya. Gadis remaja yang dulu dia kenal berumur enam belas tahun itu kini sudah tumbuh dewasa. Filistin terlihat sangat anggun dengan gaun pengantin panjang yang membalut tubuhnya.

Wanita bergaun putih itu tersenyum lebar. Dia membekap mulut untuk menahan isak haru yang hampir meledak dari bibirnya. Lelehan bening yang semula ia tahan-tahan, kini terjun bebas melintasi kedua pipinya yang tirus.

Bert mengerejapkan kedua matanya. Bahkan pria itu menampar kedua pipinya dengan cukup kencang, untuk memastikan jika dia sedang tidak bermimpi. Bert meringis karena perih di pipinya. Seketika bibirnya tertarik ke atas, membentuk lengkungan senyum yang menawan.

"Aku tidak sedang bermimpi! Ka-kau benar Fi-Filistin? Ka-kau masih hidup?"

Filistin mengangguk cepat seraya terus terisak. Ia menyeka kedua pipi basahnya menggunakan punggung tangan. "I-iya, a-aku masih hidup! Se-selama ini, a-aku justru mengira kau yang sudah me-meninggal! Ternyata kau masih hidup! A-aku sangat merindukanmu, Bert!"

Bert berkedip, membiarkan setetes bening meluncur dari sudut matanya. Mulutnya sedikit terbuka mendengar pernyataan Filistin barusan. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa Filistin menganggapnya telah meninggal? Sedangkan selama ini, Bert mengira Filistin lah yang telah meninggal, bahkan dia sudah melihat pusara bertuliskan nama Filistin. Pikiran Bert mendadak kacau, sebenarnya apa yang telah terjadi?

"A-apa maksudmu? Aku sungguh tidak mengerti!"

Filistin menghela napas panjang. "Sebenarnya ... semua ini rencana Kak Al Quds."

Bert tersedak salivanya. Kedua matanya sontak melebar. "APA?"

Asima memasukkan kembali lembaran foto Filistin dalam kotak biru tersebut, lalu menutupnya. Semilir angin sore itu sangat sejuk menyapa kulit wajahnya yang putih. Asima menoleh pada Al Quds yang baru saja keluar dari gua dengan sangat tergesa-gesa.

"Al, kau mau ke mana sangat terburu-buru?"

"Aku ada urusan mendadak. Mungkin aku akan pulang larut malam. Kau makanlah bersama Bibi Khadijah dan Reda. Jangan menungguku."

Asima tetap bergeming saat Al Quds mencium puncak kepalanya dengan lembut.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Asima mengembuskan napas pelan. Ia menatap punggung tegap Al Quds yang sangat cepat menghilang di tikungan jalan.

Al Quds melambaikan tangan pada pria berkemeja biru yang tengah berdiri di depan sebuah sedan hitam. Kemudian dia berlari cepat menghampiri pria itu.

"Ba-bagaimana keadaan Filistin?" tanya Al Quds. Embusan napasnya sangat kasar.

"Filistin sudah bangun dari koma. Mari, kita pergi sekarang!"

Al Quds melebarkan matanya. Dia sangat senang mendengar kabar barusan. Ratusan kata syukur terus terucap dari bibirnya. Lelaki berambut ikal itu bergegas memasuki mobil. Dia duduk di samping kursi kemudi. Tak lama, mobil yang Al Quds tumpangi pun melaju kencang menuju sebuah rumah sakit di Nablus. Dia terus merapal doa dalam hatinya. Al Quds sudah sangat tidak sabar ingin melihat keadaan adik tercintanya.

Sesampainya di rumah sakit, Al Quds dan pria berkemeja biru itu berlari kencang menyelusuri koridor rumah sakit.

Al Quds memegangi dadanya yang sedikit sesak sehabis berlari. Setelah memakai terusan berwarna hijau yang telah disediakan oleh rumah sakit, Al Quds dan pria jangkung itu pun memasuki ruangan ICU.

Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang