Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam duabelas menit dari Yerusalem, Bert akhirnya telah memasuki gerbang kota Tel Aviv. Sedan putih miliknya melaju dengan kecepatan sedang membelah hirup-pikuk Kota Putih yang merupakan situs warisan UNESCO itu. Gedung-gedung perkantoran yang menjulang dan 4000 bangunan rumah putih bergaya Bauhaus terhampar di sisi dan kanan jalan yang ia lalui. Ratusan kendaraan mewah berseliweran dan terlihat saling mendahului satu sama lain.
Alunan musik clasic berbahasa Ibrani mengalun lembut sedari tadi. Tatapan netra hijaunya lurus pada jalanan aspal yang mulus. Sesekali ia bersenandung dan bersiul sambil menikmati perjalanan.
Hari Sabtu di mana semua umat Yahudi sibuk sembahyang Sabat dan melakukan serangkaian ibadah di Tembok Ratapan maupun sinagog, perwira Israel yang satu ini justru pergi untuk menyambangi hotelnya yang sudah mulai beroperasi sejak tiga bulan yang lalu.
Melakukan ibadah singkat dalam rumah saja sudah cukup baginya. Bert tidak seperti Aaron yang sangat taat beribadah meskipun di tengah-tengah kesibukannya sebagai seorang letnan. Lagipula Bert memang tidak akan bisa memantau perkembangan bisnisnya kecuali pada hari libur seperti sekarang. Sebab di hari kerja, Bert pasti akan sangat sibuk bertugas ke perbatasan, atau melakukan berbagai agresi militer ke Jalur Gaza.
Dia telah sampai di kawasan Bauhaus Center, tempat di mana hotelnya dibangun. Bert sudah memarkirkan mobilnya. Ia tersenyum penuh arti menatap bangunan bertingkat duapuluh dengan interior mewah bergaya Bauhaus yang setiap lapisan dindingnya bercat putih. Di setiap tingkat memiliki balkon yang melengkung dengan jendela-jendela kecil yang khas. Jika diamati bentuknya hampir menyerupai kepala kapal besar, namun berlapis-lapis.
Ela's Royal Hotel, sebuah nama yang diambil dari nama sang ibu disematkan pada properti pertamanya itu. Kedua matanya berkaca-kaca. Bert sangat menyayangkan ibunya tidak bisa menyaksikan keberhasilan hasil kerja kerasnya selama ini. Tetapi Bert meyakini jika Ela bisa menyaksikannya di atas sana.
Sesampainya di lobi, para resepsionis dan staff menyapanya dengan senyum ramah. Rambut cokelat keemasan yang klimis serta busana semi-formal membuaynya tampak sangat maskulin pagi ini. Dia balas tersenyum dan terus melangkah gontai menuju elevator untuk menuju lantai atas di mana ruangan CEO berada.
****
"Aku sangat puas dengan progres hotel kita. Sangat melebihi ekspektasi awal." Senyum Bert semakin melebar. Kedua netra hijaunya berbinar. "Sangat tidak menyangka omzet kita bahkan bisa sebesar ini. Padahal baru beberapa bulan beroperasi. Ini adalah kerja keras yang sangat memuaskan."
Bert sudah duduk di kursi besarnya. Ia menegakkan punggung tegapnya pada sandaran kursi yang tinggi.
Seorang lelaki jangkung berambut hitam yang duduk di seberangnya ikut mengembangkan senyuman. Netra hitam beningnya berkilau. Dia adalah Ze'ef Geron, sahabat sekaligus orang yang Bert percaya untuk mengurus bisnisnya.
"Para tamu memuji pelayanan baik serta fasilitas yang kita berikan. Mereka juga
senang dengan keramahan semua staff di sini." Ze'ef menyodorkan beberapa dokumen penting pada Bert. "Ini berkas-berkas yang harus kau tandatangani.""Itu harus dipertahankan."
"Ya, tentu saja."
Bert membaca semua dokumen terebut dengan teliti satu per satu, lalu ia membubuhkan tandatangannya pada lembaran kertas itu sambil mengulas senyum.
"Minggu depan ada meeting dengan beberapa investor muda yang ingin ikut menanam saham di perusahanmu." Ze'ef mengambil alih berkas-berkas tersebut dan merapikannya kembali ke dalam map.
"Kau atur saja semuanya. Aku percayakan semua padamu. Jika ada hal yang mendesak, jangan ragu untuk menelepon." Bert menaruh kedua tangan kokohnya di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2
RomanceFollow dulu sebelum baca. Bert Ertugrul, seorang personel dari pasukan khusus IDF, Unit Mistaravim yang kaku, berhati dingin dan tidak pernah percaya dengan cinta. Sersan Bert tidak pernah ingin memiliki ikatan serius dengan seorang wanita. Selama k...