Ruko sepetak itu adalah milik salah satu warga di Tepi Barat. Pemilik ruko berbaik hati telah mengizinkan para siswi dari sekolah Al Aqsa untuk melangsungkan kegiatan belajar-mengajar sementara. Kapasitas ruko tersebut hanya cukup untuk lima belas orang, sehingga sebagian murid terpaksa harus menggelar tikar di teras ruko untuk ikut belajar.
Filistin dan Reda duduk bersisian di teras, di barisan paling belakang. Hawa panas menyengat karena siang itu matahari sangat besar. Peluh membanjiri wajah para siswi yang sedang fokus mengerjakan tugas terakhir yang diberikan oleh guru. Namun, sedikit pun tidak melunturkan semangat mereka untuk terus menimba ilmu.
Satu per satu siswi mengumpulkan lembaran tugas mereka pada guru. Termasuk Filistin dan Reda yang sudah selesai mengerjakan. Mereka berjalan berurutan menghampiri meja guru.
"Baiklah, apa semuanya sudah mengumpulkan tugas?" tanya guru berhijab putih itu.
"Sudah, Bu!" seru semua siswi.
"Kalau begitu, kalian pulanglah dan lanjutkan belajar di rumah. Untuk sementara, kita hanya berkenan belajar di sini setengah hari saja." Guru itu tersenyum manis. "Ini kebijakan dari Kepala Sekolah, agar pemilik ruko tetap bisa berjualan setelah kita pulang. Sampai jumpa besok, asalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Semua murid sangat antusias dan semangat.
Salah seorang siswi berbadan gemuk mengangkat tangan. "Kira-kira kapan sekolah baru kita akan dibangun, Bu?"
"Insya Allah secepatnya, nanti kami akan mengabari kalian. Kepala sekolah masih benegosiasi dengan pemerintah untuk memilih lahan yang aman agar penggusuran tidak kembali terjadi. Kita menunggu keputusan dari PBB juga."
"Baiklah, Bu, kami akan sabar menunggu."
Guru tinggi bergamis hitam itu tersenyum sambil merapikan buku-bukunya di meja, lalu memasukkannya dalam tas.
Setelah merapal doa, satu per satu siswi meninggalkan ruko dan berpencar untuk pulang ke rumah masing-masing. Filistin dan Reda berjalan lamban paling belakang. Mereka bergandengan tangan.
Tidak ada senyum yang menghiasi bibir gadis itu. Netra birunya pun sangat sendu. Filistin masih memikirkan Bert dan sikap Al Quds tadi pagi. Perih di hatinya masih membekas.
Suara bebatuan runtuh dan deru mesin buldoser silih berganti menusuk indra pendengaran. Lagi, di seberang jalan sedang terjadi pembongkaran paksa pada sebuah rumah berlantai dua milik seorang warga Palestina.
"Astagfirullah!" seru Reda dan Filistin.
Ayunan langkah kaki mereka terhenti menyaksikan pembongkaran itu. Tampak seorang wanita paruh baya sedang menggendong balita dan sedang berjuang meneriakkan keadilan pada rumahnya yang dihancurkan.
Sebagian warga Palestina lainnya berlarian untuk memberikan pertolongan. Namun, semua sia-sia sebab penjagaan ketat pasukan tentara Israel di sana sangat brutal. Adu mulut serta saling lempar batu dan desing peluru yang meletus ke angkasa pun saling bersahutan.
Reda merogoh ponselnya, lalu mengarahkannya pada penggusuran rumah itu. Tatapannya menajam, hatinya berdoa dan mulutnya mengumpat kasar pada para tentara laknat itu.
"Reda, apa yang sedang kau lakukan?" Filistin menarik tas selempang Reda.
"Diam sebentar, aku sedang merekam kekejian mereka!"
"Untuk apa?"
"Aku ingin mengabarkan pada dunia! Biar Dunia tahu kejahatan apa yang telah otoritas Israel lakukan pada warga Palestina!"
"Kau akan menyebarkannya di Facebook?"
Reda menggeleng. Ia menekan tombol save, lalu melanjutkan perjalanan. Mereka berjalan beriringan, Filistin menggandeng tangannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/263376823-288-k88321.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2
RomanceFollow dulu sebelum baca. Bert Ertugrul, seorang personel dari pasukan khusus IDF, Unit Mistaravim yang kaku, berhati dingin dan tidak pernah percaya dengan cinta. Sersan Bert tidak pernah ingin memiliki ikatan serius dengan seorang wanita. Selama k...