[24] Sekawan Likur

1K 146 12
                                    

Lelaki itu memberhentikan kudanya disebuah tempat sekitar lereng gunung. Diikatnya kuda itu pada batang pohon lalu berjalan kesisi sungai untuk menyelupkan kedua tangannya yg bersimbah darah.
Aku yang terduduk tak jauh dari sungai turut menyaksikan warna merah samar yang mengalir mengikuti arus.

Lelaki itu kembali duduk disampingku, betapa terkejutnya saat aku melihat sayatan besar menggores sepanjang lengannya akibat serangan dari benda tajam itu. Kuraba pelan luka yang menggores kulit sawo matangnya,

"Aauch.." keluhnya spontan.

Dengan sigap kuangkat tanganku dari kulitnya,
"Lukanya besar sekali," kataku.

"Tidak apa-apa, nanti juga akan sembuh" timpalnya.

"Apa perlu diobati sekarang," tawarku.

Ia hanya tersenyum tipis,
"Yaa".

"Kalau begitu ayoo kita pulang" ajakku.

Namun Hayam wuruk hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, ia lalu menggenggam jemariku serta wajahnya mulai mendekat ke arahku,
"Aku hanya membutuhkanmu, melihatmu saja aku sudah sembuh.." bisiknya tepat ditelingaku.

Aku hanya diam mematung mendengar ucapannya.

Lanjutnya,
"Temani saja aku disini.." ungkapnya sembari menaruh tanganku didadanya, kepalanya mulai tertidur diatas pangkuanku.

Ya Tuhan kenapa lelaki ini, ia semakin bertambah bucin.

"Boleh aku istirahat sejenak disini," pintanya.

"Hmm.. Iyaa" jawabku.

Lelaki itu itupun mulai memejamkan matanya diatas pangkuanku. Sekilas kupandang wajahnya yang semakin pulas meski hanya beralaskan batu dan bertumpu pada pahaku. Kuperhatikan aura wibawanya seperti sudah bawaan dari lahir. Karena meski ia terlelap, auranya masih nampak disini. Ku tatap gambaran gunung penanggungan diantara hamparan sawah serta suara gemercik air yang mengaliri sungai membuatku merasa rileks saat ini. Tak lama semilir angin menerpa tubuhku dibawah pohon rimbun yang berjajar, aku jadi ingin tidur pula.

"Hoamm..." mulutku menguap tiba-tiba.

Namun seketika nampak sekelebat putih dibalik pohon yang tak jauh dariku, aku jadi sedikit terkejut karna disini hanya ada aku dan Hayam Wuruk. Aku mencoba tidak memperdulikan hal itu, namun sekelebat putih itu terus menampaki ku dibalik pohon-pohon. Aku jadi sedikit takut dan khawatir.

Dengan pelan kuangkat kepala Hayam Wuruk lalu mengganjalnya dengan segumpal selendang agar kepalanya tidak terbentur batu. Kuberanikan diri untuk menghampiri sesuatu dibalik pohon itu.

"Siapa.." kataku.

"Aku.." suara berat menimpaliku.

"Eyang.." ucapku terkejut.

Sang pelopor sumpah palapa itu menatapku datar namun terlihat intens.

"Apa yang sudah kau lakukan dengannya," tanyanya.

"E-ehm.. Aku.. Hanya menemaninya saja. Dia yang mengajakku" kataku.

"Menemani sambil bermesraan?" tanyanya.

Aku terbelalak kaget mendengarnya, rupanya patih Gajah Mada mengawasiku. Aku mulai meremas jariku pada kain jarik yang kukenakan sembari menggigit bibir bawahku dengan menunduk.

Lelaki paruh baya itu kembali berkata,
"Ingatlah tujuan awalmu, disini kau hanyalah keturunan Gajah Mada sang penghianat. Jangan melebihi batas Rara Ayu!".

"Penghianat apanya? Kau dijebak!" kataku mengelak.

"Siapa yang akan menyangkal? Seluruh anggota istana mengakui hal itu, dan kau.." ucapnya menunjuk wajahku.

'ILY Since 600 Years Ago' [MAJAPAHIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang