[25] Selangkung

1K 132 15
                                    

"Apa aku harus bergabung dengan pasukan?"

"Tidak paduka, yang mulia adalah segalanya. Seribu prajuritpun tak ada apa-apanya dibanding nyawa Paduka,".

Keadaan sunyi sejenak.

"Mpu Nala,"

"Ampun gusti.."

"siapkan 3 kapal jung dan 180 kapal tempur dari masing-masing armada. Kita harus bersiap untuk pertempuran dalam waktu dekat".

"Sendika dhawuh gusti".

Dua suara itu terdengar hingga tempat istirahatku, siapa yang masih mengobrol tengah malam begini. Sayup-sayup ku dengar percakapan dua orang itu, sepertinya akan ada peristiwa besar.

Dengan posisi membelakanginya, aku berlagak terlelap saat lelaki itu mulai kembali berbaring disampingku. Kurasa ia tidak melanjutkan tidurnya, sampai tubuhnya juga membelakangiku dan suasana sunyi seketika.

***
Pagi ini aku tidak boleh melewatkan waktu untuk bersantai. Meminum kopi dibalkon sembari menyambut matahari terbit dilereng gunung. Uhh mantapp.

Sesuatu yang berbeda dalam pandanganku kali ini, Hayam Wuruk sama sekali tak terlihat romantis. Biasanya ia langsung menghampiriku dan mengucapkan kalimat-kalimat suci bak film romansa. Namun kali ini ia sedikit kaku, hanya senyuman semenit sebelum ia pamit bersama seorang perwira tinggi ke suatu tempat yang tak ku mengerti. Ah kenapa aku jadi mengharapkannya.

Sekilas aku mengingat percakapan saat malam tadi. Apa ada kaitannya dengan pembicaraan mereka semalam? Ada apa sebenarnya?

Setelah beberapa lama, dua orang ksatria itu kembali bersama kuda mereka. Kulihat perwira tinggi yang bersama Hayam Wuruk itu turun dari kudanya dan bercakap sebentar, lalu ia pergi keluar keraton.

Hayam Wuruk masuk dan menghampiriku,

"Dinda, kita harus kembali" ucapnya datar.

"Kenapa buru-buru?" kataku.

"Ada sesuatu yang genting, cepat" jawabnya.

Akupun mulai bangkit dan mengikutinya keluar keraton.

"Kita akan pulang dengan kuda," ucap raja muda itu.

"Bukankah kita seharusnya naik kereta seperti saat kemari-" jawabku.

"Tidak" potongnya.

Ia langsung mengulur tanganku untuk menaiki kuda itu, sebetulnya aku sedikit trauma karena kejadian kemarin. Ditambah ia semakin memacu kudanya kencang, membuatku hanya menutup mata tanpa berani berbasa-basi.

Sesampainya di istana Wilwatikta, suasana sedikit berbeda. Kami langsung menuruni kuda dan memasuki istana, Beberapa petinggi kerajaan terlihat mengenakan baju besi seolah akan melakukan peperangan.
tiba-tiba lelaki itu menyentuh pipiku dengan tatapan sendu,

"Tetaplah diistana, jangan kemana-mana. Mungkin aku tidak akan menemuimu untuk beberapa waktu," ucap Hayam Wuruk.

Lalu sebuah kecupan mendarat di keningku. Aku hanya menelan ludah bergeming, apakah ia akan bertempur?

"Kanda.." sapaku menahannya.

Lanjutku,
"Kau akan berperang?"

Lelaki itu bergeming sejenak,
"Jika memungkinkan, aku akan ikut" ungkapnya.

Lalu ia pergi begitu saja.

Matahari pagi masih memancar diufuk timur, tampak dilapangan luas ribuan tentara berbaris rapi dengan tombak dan perisai digenggaman mereka. Seluruh anggota istana, tak luput diriku, berdiri dibalkon menghadap para prajurit. Aku melihat Nertaja disisi Hayam Wuruk, ada rasa senang dalam diriku, tapi aku tak tahu apakah semuanya akan berjalan seperti sedia kala.

'ILY Since 600 Years Ago' [MAJAPAHIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang