[30] Tiga Dasa

830 92 20
                                    

Seperti biasa seusai menerima surat dari patih Gajah Mada, aku selalu menyimpannya di ransel bersama dengan surat-surat lain. Bersamaan dengan itu, mataku tertuju pada lontaran surat lain. Lembaran kubuka satu persatu secara perlahan, Surat yang cukup lama tersimpan sejak si elang itu pergi dari istana satu bulan lalu kembali kusimak sebagai penawar kerinduanku. Setiap kalimat yang tertulis diatas lembar itu, seolah membuatku semakin lekat oleh bayangnya.

Hingga anganku memikirkan satu hal, jadi bagaimana semua ini? Semua berawal saat peristiwa tak masuk akal itu terjadi, sebuah kisah yang takkan tercatat dalam album sejarah manapun bahwa seorang gadis dari abad modern jatuh cinta dengan seorang raja ditanah jawa pada abad ke-14, Hayam Wuruk. Aku kembali menyadari bahwa kisah semu ini mungkin takkan menjadi akhir yang baik, gelar permaisuri yang dijanjikan untukku tak pernah ada dalam catatan sejarah. Lelaki itu akan berpaling pada wanita lain, kurasa tak perlu kusebutkan namanya. Apakah memang kisahku akan berakhir dipengasingan ini? Tubuhku mulai mematung meremas lontaran itu hingga kusut.

"Aku tak bisa seperti ini" gumamku.

Seharusnya aku benar-benar mendengarkan perkataan Patih Gajah Mada, aku hanya fokus pada tugasku bukan kisah asmaraku.

Kletak.

Suara sesuatu yang menghantam dari luar pintu rumah ini. Tanpa lama aku mulai membuka pintu untuk memeriksa apa yang terjadi,

"M-maaf nyisanak. S-saya tidak sengaja" Ucap lelaki muda dengan ekspresi takut dihadapanku.

Aku hanya memperhatikan sosoknya dari atas hingga bawah, agaknya lelaki ini bukan orang asing. Terlihat dari pakaiannya yang sederhana seperti warga lokal, tetapi mengapa dari ciri-cirinya.. ia agak berbeda dari pria kawula lain? he looks perfect enough. Cukup sulit memperoleh gizi yang baik bagi kaum kawula, umumnya mereka mempunyai badan yang kurang terawat dibanding kaum bangsawan. Tapi kurasa tebakanku salah. Aku curiga ia mata-mata istana, Tapi bisa saja tidak.
Tak lama ia mengambil sebuah gangsing kayu yang tergeletak didepanku.

"Kau sedang apa?" Tanyaku.

Pria muda itu segera menyimpan gangsingnya,
"Ehm, aku.. sedang bermain gangsing dengan adikku di depan rumahmu tadi, maaf sudah lancang dan mengganggu istirahatmu, kukira rumah ini masih kosong. Aku sungguh tak sengaja maafkan aku".

Aku hanya menaikkan alis,
"Oh.. tak apa. Kukira tadi ada apa"

Ia langsung tersenyum tak enak.

Tiba-tiba suara perempuan menyahuti obrolan kami,
"Makanya kanda, kau jangan mengurung diri terus dalam rumah sampai tidak tahu ada tamu disini" celetuk Laras diujung sana sembari menahan tawa.

"Ssst adik kurang ajar kau ya.." jawab lelaki itu dengan tatapan tajam kearahnya.

Aku mulai mengetahui ternyata laki-laki ini kakaknya Laras, anak kepala dukuh dikampung ini. Ya ampun.. jauh sekali aku mengira ia seorang mata-mata.

"Eh, salam kenal.. aku Rara, warga baru didesa ini," kataku mengulurkan tangan dengan senyum ramah.

Ia pun mulai menimpali salamanku,
"Perkenalkan aku Janu.."

"Anak kepala dukuh dikampung ini" ucap kami berbarengan.

Aku dan Janu pun tertawa kecil saat ucapannya kutirukan dengan tepat.

"Aku hanya meniru perkataan Laras saat kami berkenalan tadi, gaya bicara kalian sama persis" kataku tersenyum senang.

"Owh.. begitu hehe" katanya sungkan sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Kulihat Laras mulai menghampiri kami dan menarik tangan kakaknya,

"Kanda kau sudah janji akan menemaniku memetik mangga hari ini,.." ucap Laras.

'ILY Since 600 Years Ago' [MAJAPAHIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang