[16] Enem Welas

1.3K 178 9
                                    

Buat readers yang bingung sama beberapa bahasa dipart ini,
Mungkin tulisan yang aku bold word.
Artinya ada dibawah ya🌸

Author pov:

Awan mulai menunjukkan wajah gelapnya dan menutupi cahaya mentari. Arya Mahadhikara, seorang pendeta Majapahit yang ahli dalam membaca gejala alam berada dibarisan paling depan, ia tiba-tiba memberitahu Rakryan Mantri selaku pemimpin rombongan untuk menepi sejenak. Sang pendeta langsung turun dari kendaraannya dan menghampiri baginda raja.

"Ampun gusti Prabu, langit sudah mulai mendung. Sebentar lagi akan turun hujan lebat, apakah kita akan terus melanjutkan perjalanan atau berteduh terlebih dahulu. Karena tidak jauh darisini akan ada pemukiman warga" kata sang pendeta.

Prabu Majapahit itu langsung mengintip dari jendela keretanya dan menengadahkan kepalanya kearah langit,
"Sekarang kita sudah sampai mana," tanya baginda.

"Kita akan sampai ke daerah Sadeng, Paduka." jelasnya.

"Sadeng? Wilayah yang pernah memberontak itu" ucap baginda raja.

"Benar Yang Mulia, tapi sekarang wilayah Sadeng sudah mulai kondusif semenjak pemerintahan baginda Rajasanagara. Jika berkenan, sebaiknya kita berteduh disana sejenak karena cuaca sedang tidak mendukung," saran pendeta itu.

"Hhm.. Baiklah, kita akan berhenti disana. Aku juga ingin memperbaiki hubungan dengan mereka," jawab sang raja.

Para rombongan pun bergegas menuju pemukiman warga yang diduga memasuki wilayah 'Sadeng' itu.
Sesampainya didepan gapura desa, kereta kuda yang ditunggangi para Rakryan dengan panji merah-putih bergaris 9 berkibar jelas diatas kendaraan mereka. Para warga yang mengetahui hal itu segera berbondong-bondong berkumpul disisi jalan sambil bersimpuh untuk menyambut Raja mereka.

Anggota rombongan memberhentikan langkah sesaat setelah memasuki desa tersebut. Sang rakryan mulai turun dari kendaraan dan menghampiri seorang Akuwu,

"Hujan akan turun lebat. Baginda Raja akan singgah disini untuk beberapa saat," kata rakryan.

"Sendika dhawuh gusti, kami semua dengan senang hati menerima paduka." jawab Akuwu tersebut.

Suasana desa seketika sibuk menyiapkan berbagai makanan untuk para rombongan. Yang Mulia Sri Rajasanagara mulai menuruni kereta diikuti para punggawa serta seluruh pejabat yang turut dalam perjalanan. Para kawula begitu beruntung karena pada akhirnya mereka dapat melihat secara jelas bagaimana rupa sang Maharaja. Masyarakat desa setempat begitu terkagum saat melihat sang Prabu berjalan menuju balai desa, kewibawaan dan ketampanannya begitu terpancar bagi siapapun yang memandangnya.

"Ampun gusti Prabu, hanya ini yang dapat kami persembahkan. Semoga yang Mulia berkenan menerimanya." kata seorang Akuwu mempersilahkan hidangan yang tersaji.

Baginda Sri Rajasanagara tersenyum tipis,
"Terima kasih, sudah menerima kami untuk singgah disini." ucapnya.

"Dengan senang hati yang mulia, paduka junjungan hamba." kata Akuwu.

Seluruh anggota rombongan mulai menyantap makanan yang tertera dihadapan mereka. Benar saja, selang beberapa menit rintikan hujan mengguyur deras desa tersebut. Beruntung para pengawal telah menyiapkan segala sesuatunya.
Raja muda itu termangu memandangi air langit yang menerpa pepohonan dan genting-genting rumah, terlihat beberapa sekumpulan anak kecil sedang bermain riang ditengah guyuran hujan. Ia jadi teringat masa kecilnya, saat berusia 7 tahun dan mencoba kabur dari istana karena kesal dengan ibunda yang terlalu perfeksionis dalam mendidik.

Pada saat itu, dirinya masih menjadi Yuwaraja. Ia begitu bosan dengan kehidupan istana yang selalu digembleng untuk bersikap sebagaimana menjadi bangsawan, seorang pangeran, dan seorang putra mahkota. Hingga pada waktu itu, Hayam Wuruk kecil mencoba kabur dan menyamar sebagai anak kawula biasa serta bermain dengan anak-anak kawula yang lain. Sungguh pengalaman masa kecil yang menyenangkan dalam hidupnya, untuk kali pertama ia dapat hidup bebas tanpa dipantau oleh siapapun. Dan untuk pertama kalinya pula, ia mengetahui betapa kerasnya kehidupan rakyat biasa. Tidur ditempat yang kecil dari kayu bambu, menghadapi tindakan penindasan oleh masyarakat dengan kasta yang lebih tinggi, serta mencari makan dengan mengumpulkan kayu bakar ditengah hutan. Hal itu pula yang menyebabkan Hayam wuruk tumbuh menjadi pribadi yang peduli dan fleksibel. Ia mampu hidup dilingkungan kawula menengah kebawah maupun hidup dilingkungan bangsawan kelas atas.

'ILY Since 600 Years Ago' [MAJAPAHIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang