Setelah dua jam berada di ruang pelatihan, mendengarkan job desk-nya sebagai seorang Sekretaris, Arabella kehausan hingga rasanya dehidrasi. Dia nyaris menghabiskan satu botol air mineral di pantry. Menjadi seorang sekretaris kedengarannya mudah, tapi ternyata otaknya benar-benar diuji di sini. Dia harus menghafalkan banyak hal.
"Kamu nggak diminta lari-lari, kan, di ruang pelatihan?"
Mendengar suara itu Arabella nyaris tersedak. Air yang dia minum keluar kembali dari mulutnya.
"Eh, sorry." Awan langsung mendekat dan mengambilkan tisu.
Arabella meringis. Diterimanya tisu itu sembari mengelap mulut. "Bapak bikin saya kaget," ucapnya sembari membuang tisu itu ke tong sampah.
"Maaf, aku nggak tau kalau kamu akan sekaget itu." Awan merasa bersalah.
"Bapak, kenapa ke sini? Mau saya buatkan kopi?" tanya Arabella.
"Itu bukan tugas kamu," beritahu Awan. "Aku tadi lewat dan kebetulan lihat kamu masuk sini. Lihat kamu minum kayak tadi, aku jadi penasaran kenapa sampai sehaus itu. Mereka nggak nyiksa kamu, kan?"
Arabella menggeleng. "Kalau mereka menyiksa saya, mungkin airnya bukan saya minum, Pak, tapi saya siramkan ke kepala mereka."
Awan tertawa mendengarnya.
Sebenarnya situasi ini terasa aneh bagi Arabella. Awan tidak berbicara dengan bahasa formal, padahal ini masih di kantor. "Kalau begitu saya harus kembali ke ruang pelatihan, Pak. Masih banyak yang harus saya pelajari," pamitnya.
Awan mengangguk.
Arabella tersenyum dan bergegas pergi dari sana. Dia merasa tidak enak berduaan saja dengan Awan. Tadi saja dia sudah mendengar bisik-bisik dari beberapa staf, kalau Awan itu sudah bertunangan. Tunangannya sangat cemburuan, itu sebabnya tidak ada sekretaris yang betah bekerja di sana.
Anehnya lagi, jantung Arabella berdebar setiap kali Awan menatap begitu dalam.
***
Akhirnya Arabella mampu melewati delapan jam dengan sangat baik. Dia telah bekerja keras memantaskan diri untuk menjadi sekretaris Awan. Meski masih banyak PR yang harus dipelajari, tapi dia percaya akan mampu menguasai semuanya.
"Ara, kamu belum pulang?"
Arabella sontak menoleh kaget. "Loh, Bapak juga belum pulang?" tanyanya balik. Dia memang tidak mampir lagi ke ruangan Awan tadi, karena dikiranya Boss perusahaan itu pasti sudah pulang.
"Aku banyak kerjaan hari ini," jawab Awan.
"Kenapa Bapak tidak menghubungi saya? Mungkin saya bisa membantu." Arabella jadi merasa tidak enak.
Awan tersenyum dan mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "Kalau gitu aku minta nomor kamu," ucapnya sambil mengulurkan ponsel itu pada Arabella.
Arabella tidak bisa menolak, walau sebenarnya Awan tinggal memakai telepon di kantor bila ingin bicara dengannya. Kenapa harus secara pribadi? "Ini Pak," berinya kembali setelah memasukkan nomornya.
"Makasih." Awan menyimpan kembali ponselnya. "Kamu nunggu jemputan?" tanyanya.
Arabella menggeleng. "Dari tadi saya mencoba pesan taksi, tapi tidak ada yang merespons." Itu sebabnya dia masih di sini.
"Jam segini susah dapet taksi."
"Iya, Pak."
"Ya udah kalau gitu bareng aku aja."
"Gimana, Pak?" Arabella malah tidak mengerti.
"Aku anter kamu," perjelas Awan.
"Oh, tidak usah Pak. Saya biar nunggu taksi saja. Kalau memang nanti tidak ada, saya bisa jalan ke halte bus di depan. Bapak silakan duluan saja," tolaknya dengan halus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret and the Boss (TAMAT)
RomanceArabella, seorang model cantik yang harus merelakan karirnya jatuh setelah dirinya hamil. Sialnya lagi, pria yang menghamilinya malah menguras habis uangnya dan kabur. Arabella benar-benar jatuh miskin setelah membayar semua ganti rugi atas pembatal...