"Araaaaaa, ya ampun Lo bikin gue cemas aja! Kenapa hape Lo mati?" Lala langsung menghampiri Arabella yang baru saja turun dari mobil Awan.
"Sorry. Hape gue lowbat," Arabella memasang ekspresi menyesal.
Lala menoleh pada Awan yang juga turun dari mobil. Dia pikir Arabella diantar sopir kantor lagi. "Eh, ada Pak Awan. Malem, Pak." Tercengir lebar dan lupa pada banyak pertanyaan di kepalanya yang dipersiapkan untuk Arabella tadi.
"Panggil Awan aja. Berasa tua banget dipanggil Pak," kekeh Awan.
"Iya, Awan. Hehehe." Lala terlihat canggung. "Masuk dulu, mampir minum kopi."
"Boleh?" Awan lebih dulu bertanya, dan tepatnya meminta jawaban dari Arabella.
Arabella tersenyum dan mengangguk.
Awan sih senang-senang saja ditawari mampir, malah kalau bisa menginap sekalian. Meski sudah bersama Arabella seharian, tetap saja merasa kurang. Apalagi hari ini mereka sudah resmi berbaikan, jadi masih belum rela berpisah.
"Duduk dulu," suruh Arabella. Dia berjalan ke dapur untuk membuat kopi.
Awan tersenyum. Dia duduk di sofa yang sama sekali tidak empuk. Lalu mengedarkan pandangan ke seisi rumah sempit itu. Tertata rapi dan bersih meski minim perabotan.
Arabella kembali ke ruang tamu, jaraknya hanya beberapa langkah saja dari dapur. "Cuma ada kopi instan, nggak apa-apa ya?" tanyanya sembari menaruh gelas itu ke meja.
"Segala yang instan bukannya jauh lebih enak?" canda Awan. Diminum kopi itu berapa tegukan, lalu menatap Arabella kembali.
Arabella tersenyum geli.
"Kamu kalau mau mandi, atau ganti baju nggak apa-apa aku tunggu," suruhnya.
"Kelihatan banget, ya?" Arabella terkekeh geli. Dia memang sudah tidak nyaman memakai pakaian ini.
Awan tertawa pelan dan mengangguk. "Sana mandi," suruhnya lagi.
"Sebentar ya," pamit Arabella.
Sementara Arabella mandi, Lala pun menemani Awan. Tidak ingin membuang kesempatan, momen ini dia gunakan untuk berdagang. Sebagai seorang marketing yang pandai berbicara, Lala berceloteh panjang lebar mengenai manfaat ikut asuransi kesehatan.
Awan sendiri termasuk orang yang sangat menghargai ketika ada yang bicara. Tidak sekali pun dia menunjukkan rasa risih, bosan atau malas dengan celotehan Lala. Malah selalu dia tanggapi dengan kalimat-kalimat positif.
Sampai akhirnya Arabella telah selesai mandi dan kembali ke ruang tamu. Dia hanya menyimak obrolan keduanya, tidak mau mengganggu Lala yang sedang berusaha mencari nasabah.
"Nanti biar Ara yang urus semua." Awan setuju mengambil asuransi yang Lala tawarkan, bahkan dengan premi yang paling tinggi. Entah memang karena dia butuh, atau sekadar ingin menolong sahabat Arabella itu saja.
Lala tentu saja senang, dia langsung mengedipkan mata pada Arabella. "Berhubung Nyonya besar udah di sini, gue pamit undur diri dulu. Takut ganggu," kekehnya sembari memunguti kertas-kertas asuransi yang ditunjukkan pada Awan tadi.
"Sini aja nggak apa-apa," suruh Awan.
"Nggak deh. Nggak bakat jadi nyamuk." Lala tertawa dan pergi.
Arabella menggeleng dan tersenyum geli. "Kamu pasti kena bujuk rayunya Lala buat ikut asuransi, ya?" tanyanya.
Awan tertawa. "Aku suka sama sahabat kamu itu. Semangatnya bekerja tinggi banget, bahkan saat di luar jam kerja. Kegigihan yang kayak gini bakal cepet bikin dia sukses," puji Awan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret and the Boss (TAMAT)
RomanceArabella, seorang model cantik yang harus merelakan karirnya jatuh setelah dirinya hamil. Sialnya lagi, pria yang menghamilinya malah menguras habis uangnya dan kabur. Arabella benar-benar jatuh miskin setelah membayar semua ganti rugi atas pembatal...