Bab 23. Pilihan Awan

2.7K 405 10
                                    

Di rumah, Awan mulai berpikir tentang pertanyaan yang Arabella ajukan. Benarkah dia menganggap Arabella sebagai Alana selama ini? Dibukanya laci nakas di samping tempat tidur, mengeluarkan ponsel lama yang menyimpan begitu banyak kenangan masa lalu. Setelah sekian lama Awan tidak lagi ingin membukanya, kini dia harus menantang diri sendiri untuk mendapatkan jawaban.

Sejenak Awan ragu saat jarinya mulai mengetuk menu galeri. Dia yakinkan lebih dulu hatinya, kalau tindakan ini tidak akan membuat keputusannya berubah.

"Gue harus buktiin ini." Awan menekan galeri itu dengan jempolnya.

Munculah deretan foto masa lalu yang membuat matanya sempat terpaku beberapa detik. Semua berisi foto Alana yang dia ambil diam-diam dalam momen apapun. Berbagai ekspresi terekam di sana.

Awan membuka salah satu foto yang menjadi favoritnya sejak lama. Ekskresi Alana yang tertawa lebar, dengan mata menyipit. Tapi aneh, Awan tidak merasakan apapun setelah melihat ini. Biasa saja. Tidak ada kerinduan seperti yang dipikirkannya. Dicobanya dengan menggulir foto-foto lain dan hasilnya tetap sama.

"Sekarang aku tau jawabannya," lirih Awan dengan senyum lebar di wajahnya.

Dia mengembuskan nafas lega. Teramat lega. Sampai rasanya ingin langsung menghubungi Arabella, tapi masih menahannya.

"Aku salah, Ra. Kamu nggak mirip sama Alana. Kalian berbeda," ujarnya sembari menatap layar ponsel barunya yang mana foto Arabella dijadikan sebagai wallpaper.

Dia kembali menatap layar ponsel lamanya. "Udah waktunya aku kubur semua tentang kita, Alana." Sambil menekan lama pada salah satu foto, lalu memilih select all, dan delete. Setelah melakukan ini, semua kenangan yang selama ini masih menyesakkan seakan ikut terhapus. Tidak hanya melakukan itu, Awan juga memformat ulang ponselnya hingga tidak lagi tersisa memori lama. Dia pun tersenyum. Siap melangkah membebaskan diri dari penjara yang selama ini diciptakannya sendiri.

Selamat tinggal, Alana.

Awan berniat mengirim chat lebih dulu pada Arabella, barulah nanti meneleponnya kalau wanita itu belum tidur. Tapi ternyata, terlihat kalau Arabella sedang typing. Dia pun menunggu pesan yang ditulis wanita itu masuk.

Detik mendekati menit. Arabella tidak juga mengirimkan chat. Malah terlihat labil, sebentar typing, sebentar kemudian hilang. Berulang-ulang seperti itu terus. "Gengsi banget sih kirim chat duluan. Pasti kamu kangen, ya?" kekehnya.

Awan pun mengurungkan niatnya mengirim chat pada Arabella. Ingin membiarkan wanita itu galau semalaman ini. Dia punya rencana lain untuk menebusnya besok.

"Maafin aku, ya. Kamu pasti nggak bisa tidur malam ini. Aku juga kangen, tapi lebih gemes lihat kamu galau kayak gini. Besok aku janji bakal tebus kesalahan aku yang disengaja ini. "I love you, Ra. More than ever."

Awan berbaring dan terus melihat kelabilan Arabella. Di bagian bawah nama wanita itu terus berganti antara online dan typing. Dia tertawa geli, kasihan tapi juga senang.

***

Mood Arabella benar-benar kacau hari ini. Semalam gelisah lantaran Awan tidak menghubungi, sampai sore pun pria itu tetap tidak ada kabarnya. Dia jadi menyesal telah bersikap egois, padahal masa lalu Awan bukanlah sebuah ancaman.

"Nyebelin banget sih," keluh Arabella sembari menaruh ponsel ke meja.

"Ra, siap-siap gih. Gue mau traktir Lo makan malam," ajak Lala.

"Tumben." Arabella mengerutkan kening. "Lagian Lo abis dari mana sih ngilang seharian?"

"Gue habis dapet bonus gede nih, jadi pengen ajak Lo makan-makan biar nggak cemberut lagi kayak gitu."

"Bisa besok-besok aja, nggak? Gue lagi males banget sumpah."

"Mana seru. Ini duitnya masih panas, jadi harus dihabisin segera. Buruan ah, gue tunggu." Lala memaksa.

"Lo ambil duit dari oven emang?" Arabella menggerutu. Dia masuk ke kamar dengan terpaksa.

Tidak lama kemudian Arabella sudah muncul kembali. Lala membeliak melihat penampilan sahabatnya itu. "Lo mau ke pasar pake baju kayak gitu?" cibirnya.

"Lah, emang mau makan di mana sih? Paling di warung pinggir jalan, kan?"

"Menghina sekali anda." Lala menekan pinggang. Dikeluarkannya sejumlah uang dari dalam dompet yang jumlahnya sangat banyak. "Cukup, kan, buat makan di restoran mewah?" tanyanya angkuh.

"Heh, itu dapet dari mana?"

"Ngepet." Lala mendengkus. "Udah dibilang bonus. Banyak nanya deh. Buruan pakai baju yang pantes, jangan bikin malu gue."

"Mencurigakan banget sih Lo, La. Nggak pernah loh kayak gini. Kita bukannya lagi berhemat, ya?"

"Hemat boleh, pelit jangan. Kalau ada kesempatan, nggak apa-apa dong sesekali makan enak." Lala tersenyum lebar.

"Oke, terserah Lo deh. Jangan sampai nanti pusing gara-gara kehabisan uang." Arabella pasrah. "Jadi gue ganti nih?"

"Iyalah ganti. Pakai gaun terbaik yang paling cantik. Mana tau di sana Lo dapet cogan baru," kekeh Lala kembali.

"Ngaco." Arabella masuk kembali ke kamar.

Dibukanya lemari pakaian, dan melihat gaun-gaun yang dibeli kemarin. Haruskah dia memakai gaun itu, sementara sekarang masih bertengkar dengan orang yang membelikannya?

***

Saat tiba di depan pintu restoran, Arabella menghentikan langkah. Dia menarik tangan Lala, mencegah sahabatnya itu masuk. "La, Lo yakin makan di sini? Gue nggak mau malu loh," bisiknya.

"Yakin. Tenang aja," sahut Lala percaya diri.

"Lo habis jual narkoba, ya?"

"Anjir, mulut Lo. Nanti dikira gue beneran jual narkoba, didatengin polisi gimana?"

"Habisnya gue curiga Lo dapet duit dari mana sampai bisa makan di sini." Kecurigaan Arabella ini tentu saja beralasan. Dia sangat mengenal Lala. Sahabat sekaligus mantan manajernya itu. Lala ini hematnya luar biasa.

"Arabella, Lo nggak usah mikir apa-apa. Pokoknya duduk cantik dan makan enak."

Arabella menghela nafas.

Lala menarik tangan Arabella masuk ke dalam. Seorang pegawai restoran menyapa mereka dengan ramah, mengantar ke meja yang sudah dipesan.

Arabella semakin bingung melihat restoran ini sangat sepi. Padahal, ini malam Minggu. Belum lagi suasananya yang cukup gelap, hanya ada seberkas cahaya menyorot pada meja yang mereka duduki.

"La, Lo nggak booking restoran ini, kan?" tanyanya berbisik.

"Emang di-booking. Tapi bukan gue," balas Lala tertawa geli.

"Hah? Gimana maksudnya?" Saat Arabella kebingungan seperti itu, tiba-tiba Awan muncul membawa setangkai bunga mawar merah.

Lala berdiri. "Tugas gue selesai. Good luck ya!" serunya begitu riang.

"Makasih ya, La. Nanti ada sopir yang anter kamu pulang," ucap Awan.

"Siap!" Lala berbisik, "semoga berhasil." Lalu cekikikan dan pergi sambil menjulurkan lidah pada Arabella.

"Lala apaan sih?!" panggil Arabella, tapi sahabatnya itu tetap berlari pergi.

Awan tersenyum.

"Ini apa sih maksudnya?" tanya Arabella pada Awan yang telah duduk menggantikan Lala tadi.

"Aku mau kasih kamu jawaban untuk pertanyaan yang kemaren kamu ajukan." Awan menggenggam tangan Arabella.

Arabella diam dengan detak jantung berdebar keras. Antara takut dan penasaran. Tangan Awan terasa hangat, itu berarti tangannya sedang dingin saking gugupnya.

***

Secret and the Boss (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang