DMZ | Prolog 🕊

21K 1.2K 213
                                    

Dua belas tahun yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dua belas tahun yang lalu ....

Yogyakarta, kota yang menjadi saksi indah kedua sahabat sebelum perpisahan itu memisahkan kedua insan yang masih ingin bersahabat.

"Tsa, Zidan, bukan sya!" geram seorang gadis kecil dengan hijabnya yang sudah berantakan karena lelah mengajar huruf hijaiyah untuk sahabatnya itu. Sedangkan sang lelaki hanya bisa menggaruk tengkuknya tatkala mendengar ocehan dari sahabatnya ini.

"Ah, udah ah gak mau! Gak ngerti aku," cicit sang laki-laki yang sering gadis itu panggil Zidan tanpa tahu siapa nama asli sahabatnya itu.

"Kamu gak boleh gitu! Nanti enggak bisa masuk surga loh, kamu memang mau ayah sama bunda kamu dihukum sama Allah?" kata gadis itu yang sering Zidan panggil Adiba.

Sama halnya dengan Adiba, Zidan pun tak tahu siapa nama asli sahabatnya itu, padahal rumah mereka hanya berseberangan jalan saja, main pun hampir setiap saat mereka bersama, anehnya mereka sama-sama nyaman dengan panggilan khusus mereka tanpa mau mempertanyakan nama lengkap mereka. Menurut mereka, jika bisa mengambil sesuatu yang mudah, lantas untuk apa mencari yang sulit.

Zidan hanya terdiam sambil mengamati wajah Adiba, bahkan matanya sampai tak berkedip melihat rambut gadis berusia lima setengah tahun itu banyak yang keluar dari hijabnya.

Zidan mendekatkan dirinya, tangannya mengusapkan kepala gadis itu, lebih tepatnya pada bagian rambut yang keluar.

"Kata bunda, anak gadis itu rambutnya enggak boleh kelihatan," kata Zidan, Adiba hanya diam karena masih kesal.

Jarak usia keduanya yang hanya berbeda 6 bulan membuat mereka berdua dengan mudah bergaul, terlebih lagi dengan sikap Adiba yang sangat disukai oleh Zidan.

"Ih, Zidan jangan ngelihatin aku terus! Enggak boleh, zina mata tahu! Nanti kalau Zidan suka sama aku gimana?!" ujar Adiba dengan bersedekap dada.

"Ya kalau suka tinggal pacarin," celetuk Zidan dengan santainya.

"Ih! Zidan enggak boleh pacar-pacaran! Kita masih kecil," kata Adiba sedikit berteriak.

"Berarti kalau udah gede boleh dong?" tanya Zidan polos, wajahnya menahan senyum sedari tadi, berusaha menggoda sahabat kecilnya ini.

"Tetep enggak boleh! Dosa," kata Adiba tetap dengan pendiriannya.

"Kita 'kan punya lesung pipi yang couple, Diba, tuh lihat kamu di kanan aku di kiri, itu artinya Allah udah ngejodohin kita dari kita kecil," ujar Zidan dengan senyumnya yang sudah mekar.

"Ih!! Diba kesal sama Zidan!!!" teriak Adiba.

Zidan terkekeh, ia mengambil sebuah bando yang sempat ia buat kemarin di kamarnya, lalu berlari lagi menuju Adiba berada yang masih berkutat dengan hafalannya.

Mereka mamang berada di rumah Zidan, bunda Zidanlah yang mengundang Adiba untuk bermain, tetapi Adiba malah ingin mengajarkan Zidan mengaji.

Zidan memakaikan bando itu ke kepala Adiba yang tertutup hijab sambil berkata, "Nanti kalau udah gede, aku janji akan kasih bando ini buat kita menikah, anggap aja ini mahkota spesial buatan aku, tapi suatu saat ... kamu akan ngasih mahkota buat umi kamu di surga," kata Zidan membuat Adiba membulatkan matanya.

Dear, Zaujaty (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang