16. Terperangkap

1.2K 111 3
                                    

Gagal, satu kata yang dapat menggambarkan hasil akhir rencananya malam tadi untuk pergi dari desa ini. Mungkin, tidak sepenuhnya gagal, karena Ania berhasil pergi dari rumah. Namun, saat mencari jalan keluar dari desa, gadis itu tersesat tidak tahu arah. Seolah lokasi desa tersebut telah dilindungi benteng tak terlihat, ah itu hanya imajinasi Ania saja.

Di saat malam itu Ania diliputi kebingungan dan keputusasaan mencari jalan, tiba-tiba Bams datang dengan mobilnya. Pria itu tersenyum penuh kemenangan, dan melontarkan perkataan yang membuat Ania ingin mengutuknya.

"Sudah saya bilang, kamu tak akan berhasil pergi. Jangan nakal, nurutlah pada calon suamimu ini. Beberapa hari lagi kita akan menikah, lalu kita kembali ke kota." Sangat percaya diri Bams melontarkannya.

Keesokannya, Ania mengurung diri di kamar. Matanya sudah lelah menangis semalaman karena ingin pulang pada keluarganya, bukan di sini bagai terperangkap serigala penuh obsesi. Ania ingin menikah dengan bahagia, bukan karena paksaan, apa Bams mengerti arti bahagia yang sesungguhnya untuk Ania?

"Ibu, bapak ...." Gadis itu sesekali berlirih memanggil kedua orang tuanya di sela tangisan. Sejak semalam Ania tak pernah beranjak dari atas sajadah, dan tentu masih mengenakan mungkena lengkap. Kepalannya ia senderkan di pinggiran ranjang.

Jujur, seluruh raganya seperti tak memiliki nyawa, suhu tubuhnya pun meninggi. Mungkin Ania demam, dan biarlah seperti itu. Karena bisa saja Bams membawanya ke puskesmas dan Ania bisa mencari jalan keluar dari permasalahannya di sana, melalui informasi warga asli desa ini. Ah, apa itu bisa terwujud? Ania hanya bisa berserah pada Allah, ia tahu Sang Pencipta tak akan membiarkan hambanya berada pada ketidakadilan.

🍓🍓🍓

Di sisi lain, Imas memperhatikan pintu kamar gadis yang ia anggap calon menantunya tersebut. Biasanya gadis itu akan keluar, meski cuma bertegur sapa dengannya. Tapi sekarang, bahkan sudah menjelang siang hari, sosok Ania tak pernah menampakan diri.

Tadi Imas memang sempat bertanya Bams setelah memergoki Bams dan Ania baru turun dari mobil. Kata Bams, mereka cuma pergi untuk menikmati suasana malam pedesaan. Apa karena malam tadi mereka berdua bertengkar? Itulah yang ada di benak Imas.

Rasa ingin tahunya itu membuat Imas berinisiatif membawakan sarapan untuk Ania, karena tadi gadis itu tak ikut serta dalam sarapan bersama. Kesunyian rumah membuat kegiatan menyiapkan makanan yang Imas lakukan terdengar nyaring. Setelah siap, wanita tua itu berjalan ke arah pintu kamar Ania dan mengetuknya.

"Nduk, biyung bawakan sarapan iki. Buka pintunya, Nduk." Imas menyerukan tujuannya tentu dengan suara lembut dan mendayu.

Tetapi, tak ada sahutan dari dalam. Sehingga membuat Imas sedikit menempelkan telinganya pada pintu, ia mendengar isakan tangis.

"Nduk, panjenengan nangis?" Suara Imas sedikit panik. "Nduk, kalau ada masalah sini bicara sama biyung."

Lagi-lagi tak ada jawaban. Imas kelimpunan, sungguh wanita itu sangat tak bisa melihat dan mendengar orang menangis, apalagi di rumahnya. Imas merasa bersalah, meski belum tahu siapa yang salah di sini.

"Wonten opo, Biyung?"

Seseorang membuat Imas membalikan badannya, ternyata Bmas di sana memilirik ke arah pintu kamar Ania dan juga Imas secara bergantian.

"Hanum nangis. Mesakne dek e, ket isuk gurung maem. Bujuken kono, Le," ujar Imas menatap nanar makanan di atas nampan yang ia bawa.

Bams mengembuskan nafas pelan, "Biarkan dia sendiri dulu, Biyung. Nanti Bams akan bicara berdua."

Komandan, Ndra (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang