Hujan baru saja tuntas membasahi bumi dengan singkat. Jejaknya bak embun di pagi hari, sehingga tanaman-tanaman dengan daun hijaunya menampung buliran air hujan yang jatuh tadi. Burung-burung pun kembali melanjutkan perjalanan pulangnya setelah pagi dan siang dihabiskan untuk mencari makanan.
Langit belum menampakan senja karena awan masih enggan pergi meski hujan telah meninggalkannya. Suasana yang teduh dan menyejukan itu dimanfaatkan seorang wanita paruh baya untuk merapihkan tanaman hiasnya. Namun, saat gerbang rumah terbuka dan suara mobil terdengar, wanita itu segera menghampiri mobil tersebut. Kemudian menyambut seseorang yang baru saja keluar dari sana, dia Rijal sang suami.
Pasangan suami istri itu lalu melenggang masuk ke dalam rumah. Baru sampai di ruang tamu, langkah mereka secara serentak terhenti.
Prang!
Suara pecahan piring dari ruang dapur membuat ke duanya lantas berseru. "Ann!"
Mereka berlari ke dapur, dan melihat kondisi putri mereka yang beberapa minggu ini menginap di rumah mereka tengah menahan sakit.
"Ibu, sakit!" lirih Ania, ia terus memegangi perutnya yang membesar. Terlihat dari kakinya muncul cairan bening, sepertinya air ketuban.
"Dia akan melahirkan. Cepat bawa ke rumah sakit!" teriak Ratih dengan panik.
Tanpa komando Rijal membopong tubuh anaknya itu ke luar rumah dan memasukkan ke dalam mobil, bersamaan dengan itu Ratih ikut masuk ke dalam mobil dengan raut paniknya.
"Ibu, sakit sekali," lirih Ania yang sudah begitu pucat. Seperti inikah rasanya kontraksi?
"Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi kita sampai ke rumah sakit, terus beristigfar."
Rijal melajukan mobilnya dengan cepat namun tak membahayakan pengguna jalan lain. Mereka amat berpacu dengan lirihan rasa sakit dari Ania kali itu.
🍓🍓🍓
Tangan Ania terus mencengkam sprai bangkar yang ada di UGD, seluruh badannya berkeringat dingin, dan rasa sakit pada seluruh tubuhnya semakin menyerang tanpa ampun. Dalam hatinya ia menangis karena teringat perjuangan ibunya dalam melahirkan dirinya, mungkin sesakit ini.
Di sisi lain pula Ania berharap sang suami–Andra–datang menemaninya melahirkan. Tapi sepertinya akan mustahil, sebab Andra di tugaskan di daerah luar Malang. Untung saja Ania memutuskan menginap di rumah orang tuanya, mungkin jika tidak Ania bakal merasakan sakit seorang diri di rumah dinas.
Ania sudah amat kesakitan, tapi para tenaga medis masih sibuk mendata dan menyiapkan alat untuk lahiran. Hingga akhirnya seorang dokter wanita datang bersama Ratih yang langsung menggegam kuat tangan Ania.
"Tenangkan dirimu. Ini hanya akan sakit sebentar, kamu perempuan kuat," bisik Ratih menguatkan.
"Mas Andra tidak pulang, Bu?" tanya Ania melirih. Dia harap ada keberuntungannya untuk ditemani sang suami dalam lahiran anak pertama ini. Tapi Ania pun tak boleh egois, karena Andra bukan hanya miliknya tapi juga milik negara.
"Tunggu saja, ya. Tenang, ada Ibu, Bapak, Umi, Abi yang menemanimu di sini."
Hanya itu yang mampu menguatkan Ania. Ia pasrah, tak bisa menahan apa yang seharusnya terjadi.
"Bersiap, ya, Bu. Tarik nafas, lalu buang bersamaan dengan mengejan," komando sang dokter.
Saat itu juga Ania merasakan antara hidup dan mati. Nikmat seorang ibu amat ia rasakan. Sekarang ia paham mengapa seorang ibu amat dihormati dan dimuliakan, karena perjuangannya tak akan terganti oleh apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan, Ndra (END)
RomanceJudul sebelumnya=> AniaNdra "Aku adalah korban dari tindak kejahatanmu yang telah mencuri perhatianku sejak awal, dan dari muslihatmu dalam membuat sebuah hati nyaman untuk menetap pada ruangmu," ungkap laki-laki itu seraya menyodorkan tangan kanann...