8. Maaf, Ann

1.6K 142 6
                                    

Wanita itu kaca, dan pria itu bingkainya.

🍓🍓🍓

"Dalam Shahihul Bukhari, dari Ibnu Abbas radliyallah ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,لا يخلوَنَّ رجل بامرأةٍ إلا ومعها ذو مَحرم. Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali dia (wanita tadi) ditemani mahramnya.”

Suara ketikan yang tadinya terdengar lebih jelas, kini seketika berhenti. Jemari lentik itu tergenggam, lalu jemari kanan terangkat untuk melepaskan kacamata yang bertengger hampir setengah jam melindungi bola mata milik gadis bernama Ania.

"Perempuan dalam islam itu amatlah berharga, dia bisa menjelma sebagai baja, kaca ataupun mutiara langka yang mudah untuk menarik perhatian. Bahkan Rasulullah pernah mengatakan kalau; 'Aku tidak meninggalkan satu fitnah pun yang lebih membahayakan para lelaki selain fitnah wanita,' hadist Bukhori dan Muslim."

Terdengar embusan nafas dari gadis yang kini mengarahkan pandangannya pada luar jendela. Kegiatan menulisnya seketika terhenti karena mendengar siaran radio mengenai sosok seorang perempuan dari islam. Ania tiba-tiba diingatkan kembali dengan perkataan Andra kemarin siang, ketika ia memberikan sekotak kue dengan niat meminta maaf, tapi kejadian yang harusnya berakhir bahagia malah berakhir menghantam hati kecil Ania.

Ania tidak marah ataupun kesal, ia malah malu dan bingung. Malu karena semua ucapan Andra itu benar, seharusnya ia tak sebegitu agresif dalam mengungkapkan sesuatu. Bingung karena perkataan Andra mengenai tujuan lain yang pria itu sindirkan pada sosok Ania. Apa maksudnya?

Jika Andra menilai Ania sebagai gadis yang berniat caper padanya, maka itu salah besar. Untuk apa Ania melakukan hal yang percuma itu? Sikap ia yang bersahabat ini, lagi-lagi mengundang kesalahpahaman. Ania kecewa pada dirinya sendiri karena tidak bisa mengontrol.

"Tidak ada yang harus dipermasalahkan. Hal ini kembali lagi pada sejauh mana kita mengintropeksi diri," kata Ania pada dirinya sendiri.

Di saat Ania ingin kembali melanjutkan kegiatan menulisnya, tiba-tiba suara ketukan pintu dari luar kamar terdengar. "Masuk aja!"

Terdengar pintu terbuka, Ania pun memutar kursi kerjanya itu. Tampak sang ibu yang sudah memakai pakaian yang rapi.

"Ibu sama bapak mau pergi ke Bogor siang ini, soalnya banyak persiapan yang harus ibu urus untuk pernikahan adik ibu. Kamu mau ikut?" Ratih mendekat ke arah anaknya.

"Enggak, deh, Bu. Besok Ann kuliah." Tanpa berpikir panjang gadis itu menolaknya, karena ia sudah tahu rencana kepergian orang tuanya ke Bogor tersebut. Lalu, Ania bangkit dan melangkah ke arah paper bag cokelat yang berisi hadiah. "Ann nitip ini aja buat bibi, bilangin maaf Ann karena gak bisa hadir."

Ratih menerima papar bag tersebut, "Iya pasti. Kamu di rumah hati-hati. Selalu kunci pintu, ya! Kalau ada orang mencurigakan segera lapor satpam komplek."

"Iya, Ibu." Ania mengangguk pasti. Ia bukan lagi Ania kecil yang selalu menangis bila ditinggalkan sang ibu, meski cuma ke rumah tetangga.

"Assalamualaikum," salam Ratih setelah putrinya mencium takzim tangannya.

"Waalaikumussalam. Hati-hati, titip salam buat para sepupu Ann!" serunya ketika sang ibu melenggang pergi, lalu menutup kembali pintu tersebut. Ania mengembuskan nafas, andai saja tanggung jawabnya masih bisa ditunda, mungkin ia akan ikut ke Bogor. Tempat segala kisah sosok Ania dimulai.

Detik berikutnya Ania kembali duduk, dan sedikit bergumam. "Bosan. Apa aku ke rumah ka Jen aja, ya? Ketemu si kembar. Ah, kangen sekali."

Segera Ania pun menghubungi wanita itu terlebih dahulu melalui gelang SG, karena ia tak mungkin datang ke rumah Jennifer ketika ada suaminya. Bisa-bisa Ania hanya menganggu waktu mereka.

Komandan, Ndra (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang