Sudah lama semenjak mentari terus bertahta di angkasa, kini awan-awan hitam datang menghiasi siang hari di kota malang. Tanpa menunggu banyak waktu, awan itu mengeluarkan beribu buliran air hujan yang perlahan membasahi tanah. Angin pun ikut serta dalam ributnya sang hujan di luar.
Merasa terganggu dengan angin yang akan menerbangkan kertas-kertas pentingnya, Ania pun menutupi jendela kamarnya yang sendari tadi ia buka. Setelah itu Ania merapihkan kertas-kertas tersebut dan menyimpannya dalam sebuah map.
"Ibu pasti kejebak hujan. Biar kujemput saja lah," gumam Ania di tengah kegiatannya.
Setelah merapihkan, gadis itu kemudian meraih khimarnya untuk membalut kepalanya. Lalu meraih kunci mobil yang ada di atas meja kerja. Ania pun melangkah keluar kamar, tapi baru saja sampai di tembok yang membatasi kamar dan ruang tamu, langkah itu terhenti.
Dahinya berkerut bingung karena kehadiran seseorang yang tak asing lagi. Karena rasa penasarannya, Ania melangkah kembali lebih dekat.
"Ibu?"
Ratih menoleh ke arah sang anak, siapa lagi kalau bukan Ania. Gadis itu menatap bergantian sang ibu dan pria yang selalu ia panggil komandan. "Kok, ada komandan di sini? Ada apa?" Ia bertanya-tanya.
"Ini tadi pas ibu pulang dari pasar, Nak Andra memberikan tumpangan. Eh, tapi pas baru aja sampai, hujan turun," jelas Ratih. "Jadi, Nak Andra di sini dulu saja, ya?" tawar wanita itu kemudian.
"Iya, Bu. Terima kasih," sahut Andra. Lalu pria itu mengangkat tentengan dua plastik yang berisi barang belanjaan Ratih, "Ini mau ditaruh di mana?"
"Ah, sini biar aku bawa ke dapur." Ania mengambil alih plastik itu, lalu melenggang ke arah dapur.
Selepas itu Ratih mempersilahkan Andra untuk duduk di kursi ruang tamu, selagi ia akan memasak di dapur bersama sang putri.
Tapi, Andra menolak halus, "Saya duduk di kursi teras saja sama bapak, sekalian ngobrol. Boleh?"
"Oh, boleh atuh. Silahkan. Yaudah atuh ibu ke dapur dulu," pamit Ratih.
Andra mengangguk sebagai tanggapan. Setelah kepergian Ratih, ia pun melangkah ke teras rumah yang di sana sudah ada Rijal sedang asik membaca buku bisnis milik Ania. Ya, Rijal sering meminjam buku-buku tersebut, katanya untuk menambah keyakinannya dalam berbisnis sendiri.
Perlu kalian ketahui, Rijal dalam satu tahun berhasil mengsukseskan usahanya dalam bidang pertanian. Dia sudah memiliki banyak lahan, entah itu di Bogor ataupun di Malang. Tak perlu ditanyakan lagi dari mana Ania bisa berbisnis di usia muda, karena ayahnya sendiri pun sudah cukup menjadi motivasi gadis itu untuk melangkah.
"Eh, Andra." Rijal menyadari kedatangannya, ketika Andra berdeham pelan. "Silahkan duduk," titah Rijal seraya menutup buku tebal yang ia baca tadi dan meletakannya di meja bundar.
"Bapak suka baca buku tentang bisnis?" tanya Andra yang kebetulan melihat sampul buku tersebut.
"Iya, biasalah itu minjem ke si eneng," jawab Rijal dengan santai.
Andra tersenyum, "Ania suka banget sama bisnis, ya, Pak? Saya lihat tekadnya dalam membangun perusahaan sangat tinggi." Pria itu mulai membuka pembicaraan. Anggap saja ini sebagai jalan kecil untuk mengenal sosok Ania.
"Ya, gitu, deh. Sejak kelas sembilan SMP aja dia berani mendirikan komunitas." Rijal mulai bercerita.
"Masyaallah. Hebat sekali," komentar Andra, ia semakin bersemangat untuk bertanya lebih jauh menganai gadis itu.
Tapi sebelum bertanya, Rijal lebih dulu mengajukan pertanyaan untuk Andra. "Kamu sekarang lagi tugas di daerah mana?"
"Masih di polresta kota, Pak. Belum tahu nanti akan di tugaskan lagi di mana," jawab Andra, jujur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan, Ndra (END)
RomanceJudul sebelumnya=> AniaNdra "Aku adalah korban dari tindak kejahatanmu yang telah mencuri perhatianku sejak awal, dan dari muslihatmu dalam membuat sebuah hati nyaman untuk menetap pada ruangmu," ungkap laki-laki itu seraya menyodorkan tangan kanann...