18. Sebuah Akhir?

1.2K 120 19
                                    

Dia manusia, bukan Tuhan

Hari ini, tak ada yang berbeda dari semesta. Sang mentari memuncak sesuai porosnya, angin masih berembus bebas, dan awan-awan bagau seputih kapas yang sedikit melindungi hawa panas berlebih dari mentari. Ya, semua menjalaninya sesuai fungsi masing-masing.

Tapi mengapa perasaan Ania sangat tak senang dengan hal itu? Ia merasa semesta egois, karena membuat semuanya baik-baik saja tanpa melihat hati Ania yang sedang tidak baik-baik saja.

Alasan mengapa sedang tidak baik-baik saja itu karena sebuah kenyataan yang tak bisa Ania hindari. Yaitu, pernikahannya dengan Bams. Ya, hari itu telah tiba, bahkan semua persiapan sudah total hanya tinggal menunggu sanak saudara Bams dan pihak yang dipentingkan dalam prosesi akad tersebut.

Berkali-kali Ania membuang nafas lirih seraya terus memeluk lututnya. Tampak mata indah Ania dihiasi mata panda karena menangis dalam diam tanpa henti tadi malam. Ania pun tak tidur, ia menantikan seseorang yang akan menyelamatkannya dari jeruji ketidakadilan ini, siapa lagi kalau bukan Andra. Ania sangat menantinya.

Namun, tak ada tanda tanda apapun mengenai Andra. Kadang di batin Ania terucap, apakah memang seperti ini takdirnya? Seharusnya, ini adalah pernikahannya bersama Andra, jika pada saat itu orang tua Ania menerima lamaran Andra. Tapi, kenyataan sekarang seolah hal itu hanya harapan yang hampir padam.

Apa Ania harus menerima sosok Bams? Mungkin saja pria itu memenuhi perkataannya, mengenai rencana sesudah menikah, yaitu pulang ke kota dan menemui orang tua Ania. Apa dengan hal itu akan menjamin keseriusan Bams? Entahlah. Memang di satu sisi Ania amat tak bersyukur atas ketentuan Allah.

Bams sebetulnya adalah pria baik, dia hanya butuh penyejuk untuk emosi yang terkadang menguasai pikirannya. Apa Ania adalah penyejuk tersebut? Jika iya, Ania tak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Nduk, sudah siap-siap belum? Sebentar lagi calon suamimu akan mengucapkan ijab qobul, lalu menjemputmu. Kamu siap-siap, nggeh?"

Suara Imas dari luar kamar membuat Ania mengusap wajahnya dengan kasar. Kemudian ia menatap gaun putih syari yang dipilih Bams. Sebelum beranjak berganti pakaian, Ania menatap keluar jendela kamar, berharap untuk di menit terakhir ini sosok penolong itu hadir. Tapi itu hal mustahil bukan?

Ania pun beranjak ke kamar mandi seraya menenteng gaun tersebut. Setelah gaun terpakai indah di tubuhnya, segara Ania memakai kerudung satu setelan dengan gaunnya. Menit berikutnya, Ania menatap dirinya di cermin, tampak hiasan sang WO mulai memudar. Tak masalah, cantik atau tidak ia kali ini tak akan membuat acara batal.

"Beberapa menit sudah berlalu, sudah resmilah aku sebagai istri seorang Bams." Ania berucap lirih, matanya memerah. Ada rasa sesak di sana, di dalam hati kecil Ania.

Tangisan Ania yang akan meluncur, tiba-tiba tertahan ketika seorang pria jas putih memasuki kamarnya, siapa lagi kalau bukan Bams. Dia pasti akan menjemput pengantinya, dialah Ania.

"Aww!" Ania mengaduh sakit ketika Bams menarik pergelangan tangannya dengan kencang, sehingga membuat Ania seketika berdiri dari duduk. "Ada apa ini? Kasar sekali."

"Kamu berkhianat, Hanum!" geramnya dengan menatap tajam Ania.

Ania mengernyitkan dahinya, "Apa maksudmu?"

"Jangan pura-pura bodoh! Kamu diam-diam meminta pertolongan pada seorang polisi, 'kan?"

Pernyataan Bams membuat Ania terpatung, hatu seketika lega oleh embusan angin menyejukan. Inikah yang dimaksud dengan sabar dan tawakal? Ini hasilnya? Semoga berujung sesuai rencana Allah.

Komandan, Ndra (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang