Sadar diri, sebelum ada luka berlebih.
🍓🍓🍓
"Ibu! Ibu ...." Seorang gadis dengan masih memakai baju piamanya itu berteriak memanggil, lalu melembutkan suaranya di akhir ketika ia telah menemukan sang ibu yang tengah sibuk menghitung takaran tepung.
"Kenapa, geulis?" tanya Ratih tanpa melihat raut manja dari sang anak. Wanita paruh baya itu sangat bersemangat mencoba resep kue yang baru ia dapatkan melalui internet.
"Wadah kayu buat maskeran punya Ann di mana, ya? Ann udah nyari tapi gak ketemu, terus Ann keinget waktu minggu lalu wadah itu Ann taruh di rak piring." Sang putri mulai menjelaskan atas kekesalannya pada pagi ini. Ada hal yang paling Ania tidak suka dari dirinya, yaitu keteledoran dan pelupa.
Ratih menghentikan kegiatannya, lalu menatap datar pada Ania. "Sampai kapan kamu teledor gini, Neng?"
Ania semakin mengerucutkan bibirnya, "Ann minta maaf atuh, Bu. Tapi ibu tahu enggak, wadahnya ada di mana?"
"Seinget ibu, si bapak pernah izin ke ibu buat bawa wadah kayu. Tapi gak tahu itu wadah masker kamu apa bukan," ungkap Ratih seraya mengedikan bahu, dan melanjutkan aktivitasnya menimbang bahan-bahan untuk kue.
Ania terdiam, lalu bergumam, "Si bapak ...."
"Astagfirullah!" Gadis itu berseru sembari berlari mengambil kerudung ke kamar, lalu berlari kembali belakang rumah. Ratih sungguh tak terganggu dengan teriakan anaknya.
Pandangan Ania mulai menangkap sosok ayahnya itu ketika sudah sampai di belakang rumah. Rijal, pria yang ia panggil bapak itu tengah melakukan aktivitas yang telah menjadi kewajiban, apa lagi kalau bukan mengurus ayam-ayam nya yang tercinta. Ya, tercinta melebihi anaknya sendiri. Tak percaya? Mari lihatlah apa yang akan terjadi sekarang.
"Bapak," panggil Ania, ia sudah ada di belakang sang ayah.
"Iya, apa eneng?" tanya Rijal tanpa menoleh.
Sebelum bertanya, gadis itu lebih dahulu memastikannya. Ia melangkah ke hadapan Rijal. Detik berikutnya Ania meringis, dugaannya itu benar kalau sangat tepat sekali kalau wadah kayu maskernya sudah ada ditangan sang ayah. Alhasil, kini nasib wadah tersebut telah amat memprihatinnya dengan dipenuhi pakan ayam.
"Bapak," lirih Ania. Ia tak boleh marah, tapi ia harus meluaskan rasa sabar karena apa yang Ania punya mesti dibagi pada seekor ayam.
Rijal berdecak gemas dengan sang anak yang tak kunjung berbicara terus terang, "Apa, sih kamu, Neng?"
"Itu kenapa wadah kayu masker punya Ann dipake buat pakan ayam?" Ania bertanya sembari masih tetap menatap wadah kayunya yang malang.
Rijal menatap sang anak dengan kaget, "Ini punya kamu?" Ania menjawab dengan anggukan.
"Bapak gak tahu, kirain punya ibu jadi bapak izinnya sama ibu. Tapi ikhlasin ajalah, Neng. Si Jalu udah nyaman banget, tuh, sama tempat makannya yang baru," ucap Rijal dengan santai.
Jika sudah begini, mau membela diri saja sudah susah. Si jalu–ayam jago Rijal–sangat pantas disebut anak emas, ralat maksudnya hewan emas. Seharusnya Ania tak heran lagi dengan sikap ayahnya ini, karena sejak dari dulu Rijal amat menyayangi hewan peliharaannya dari pada dirinya sendiri. Ya, misal saja Rijal selalu menyisakan nasinya untuk si Jalu, ketika pakan ayam itu sudah habis. Sungguh mulia sekali, bukan?
Mari, kita iba pada Ania yang menurut khalayak ia menjadi anak satu-satunya di keluarga ini, tapi ternyata ada si bungsu yang diam-diam mengalahkan anak kandung, dan lebih parah si bungsu itu ialah seekor ayam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan, Ndra (END)
عاطفيةJudul sebelumnya=> AniaNdra "Aku adalah korban dari tindak kejahatanmu yang telah mencuri perhatianku sejak awal, dan dari muslihatmu dalam membuat sebuah hati nyaman untuk menetap pada ruangmu," ungkap laki-laki itu seraya menyodorkan tangan kanann...