19. Lampu Hijau

1.3K 119 15
                                    

Ania berdesis ketika kuku yang ia jentrikan berkali-kali malah terluka, giginya mengigit bibir seraya menoleh pada pintu operasi yang lampu di atasnya masih menyala. Itu pertanda kalau Andra masih tengah berjuang di dalam sana.

Sementara di ruang tunggu, hanya terdapat Ania dan Rival sama-sama memendam kekehawatiran dan harapan pada berlangsungnya kegiatan operasi Andra. Dzikir terus tercurah pada hati kecil Ania. Gadis itu sama sekali tak menuruti Rival untuk pulang ke rumah, ia masih ingin di sini menanti kabar sang komandan.

Lorong ruang operasi rumah sakit umum daerah kota Malang begitu hening, tak banyak orang yang berlalu lalang di sana. Hingga, suara beberapa langkah yang tergesa-gesa membuat Ania dan Rival bersamaan menoleh.

Tampak Aminah dan Ratih berlari tergeropoh penuh khawatir. Seketika Ania berdiri dari duduknya, dan memeluk Aminah–uminya Andra–sembari menangis.

"Umi, maafkan aku. Semua salah aku. Jika saja Andra tak menolongku, maka aku lah yang ada di posisi Andra sekarang! Umi, aku takut," lirih Ania dengan tangisan luar biasa deras. Bahkan kini ia segukan.

Aminah berusaha menenangkan, "Nak, jangan bicara seperti itu, Sayang. Ini takdir Allah, kamu harus percaya pada takdir Allah. Umi senang kamu bisa selamat, Nak."

Lalu wanita tua itu memandang wajah Ania yang tampak kacau dan menghapus jejak air mata yang ada di sana. "Jangan menangis, kamu gak mau 'kan pengorbanan Andra menjadi sia-sia jika kamu bersedih seperti ini?"

Ania menggeleng lemah. Aminah tersenyum, "Kita punya Allah untuk meminta segalanya, kamu jangan takut. Andra pria yang kuat."

Perkataan Aminah sungguh sangat menangkan hati setiap yang mendengarkannya. Bagaimana bisa wanita tua itu dapat mengendalikan kesedihannya? Ania sangat salut.

"Umi ke Rival dulu, ya. Mau bertanya mengenai Andra," izin Aminah. Ania mempersilahkan dengan senang hati.

Sementara Aminah mengobrol dengan Rival, Ania memeluk ibunya–Ratih–yang tampak sangat bahagia karena putrinya baik-baik saja. Ratih pun sangat bersedih sekaligus bangga pada Andra yang mengorbankan dirinya untuk Ania.

"Neng, sudah sholat asar?" Ania menggeleng menanggapi pertanyaan Ratih. "Ayo kita sholat dulu, minta doa untuk kesembuhan Andra."

Ania mengangguk. Setelah berpamitan pada Aminah dan Rival, ibu dan anak itu akhirnya melenggang menuju mushola rumah sakit.

Banyak doa yang terucap pada saat itu, dan semua diperuntuhkan untuk seseorang yang tengah berjuang antara hidup dan mati. Memang, ini adalah takdir yang mesti diterima dengan lapang dada, tapi apa kita sebagai manusia tak boleh berusaha untuk merubah takdir tersebut? Atau sekiranya menjadikan rakdir tersebut menjadi lebih baik dan tidak terus menyakiti banyak hati.

Selepas melaksanakan ibadah, Ania dan sang ibu kembali melangkah di lorong menuju ruangan operasi. Namun, terlihat Rival berjalan berlawanan dari Ania.

"Rival, bagaimana keadaan Andra?" Ania menghentikan pemuda tersebut.

Tampak raut Rival mulai stabil, semoga ini kabar baik. "Alhamdulillah, Andra sudah keluar dari ruang operasi dengan selamat. Dia sekarang ada di ruang inap Lavender melalui jalan khusus pasien."

Ania dan Ratih berbarengan mengembuskan nafas lega dan mengucap hamdalah. Setidaknya doa mereka terkabul. "Terima kasih atas infonya. Kamu sendiri mau ke ruangan tersebut?"

"Tidak. Atasan saya memanggil saya kembali ke polres."

"Baiklah. Hati-hati." Ania mempersilahkan Rival pergi setelah mengucap salam dan membalas salam.

Tanpa berpikir panjang, Ania dan Ratih berbalik arah dan mencari lorong ruangan Lavender. Mendengar kabar baik ini membuar segala beban yang ada di hati Ania, seketika terhapus. Memang benar adanya jika Allah akan mengusaikan nestapa setelah hambanya mau berusaha, dan kini terbukti pada Ania. Gadis itu sudah terus menerus menumpahkan air mata, sekarang Allah menggantinya dengan sebuah senyuman.

Komandan, Ndra (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang