"Ingatkan lagi kenapa kita ada di sini?"
"Gala amal. Harusnya ayahmu yang datang, namun karena dia mendadak sakit, kau yang menggantikan?"
"Terima kasih, Eins. Tapi tadi itu pertanyaan retorik—lupakan saja."
Dorothea mendengus kecil. Gelas berisi limun dingin dekat dengan bibirnya. Menyembunyikan gerakan mulutnya yang berbisik dengan si kawan hantu.
Seperti yang tadi Eins bilang, gadis itu sedang berada di Pesta Dansa amal yang diselenggarakan di Musutafu. Kalau ingatan Dorothea benar, itu ada hubungannya dengan pembangunan rumah sakit baru.
Seperti biasa, ayahnya itu tidak pernah bisa menolak undangan ke acara seperti itu. Terlebih jika itu berhubungan dengan membantu masyarakat.
Sayangnya, Akira tiba-tiba sakit.
Karena hampir semua orang di perusahaannya sibuk dengan fashion show yang akan datang. Dan yang disebut sendiri masih terus terbatuk dan menyeka hidung merah—
Mau tidak mau, Dorothea harus mewakilkannya.
Jadi di sinilah dia.
Berdiri di samping meja kudapan dan merutuk pelan. Menyaksikan malam minggu yang bisa dia gunakan untuk bersantai lenyap karena harus mendatangi acara formal ini.
Jujur, Dorothea tidak benci gala. Dia suka atmosfir dan makanan yang dihidangkan. Dia juga suka mengamati interaksi orang-orang yang datang. Kadang bermain tebak-menebak soal latar belakang dan tujuan mereka.
Tidak, gadis itu tidak benci gala.
Tapi dia benci jika harus datang ke gala sendirian.
Yang artinya sangat menjelaskan kecanggungan anak perempuan itu di acara kali ini.
Dia hampir tidak mengenal siapapun. Setidaknya secara personal.
Sang gadis mendesah. Kembali mencomot satu truffle cokelat putih dan mengunyahnya dengan sengsara.
Setidaknya, ada Eins yang menemaninya.
Dan tidak ada hantu lain di tempat itu. Sejauh ini. Hanya manusia hidup yang bercengkerama di ruangan itu.
Mata emas menyisir kerumunan orang bergaun dan berjas. Berbicara satu sama lain dengan gelas-gelas tinggi di tangan mereka. Beberapa wajah familiar. Konglomerat yang sering muncul di televisi atau politisi. Dan tentu saja—
Pahlawan.
Dari semua pesta yang Dorothea hadiri, pasti mereka ada.
Ngomong-ngomong soal itu—
"Permisi?"
Suara berat yang lembut membuat si gadis tersentak. Gelas beris punch hampir terlepas di tangannya. Anak berambut merah itu berbalik. Agak terkejut melihat siapa yang berdiri di sana.
Gang Orca.
"Ah, ternyata benar! Kau anak yang di Akuarium waktu itu!"
Si Pahlawan terkekeh. Sementara itu, pipi Dorothea bersemu. Berubah menjadi sewarna rambutnya.
"Ah—benar, uh—" gumam si gadis gelagapan. "Aku—uh, minta maaf soal waktu itu. Aku tidak tahu—"
"Hei, tidak masalah," ucap Gang Orca. Tangannya terkibas. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman. Menampilkan sebaris gigi tajam.
"Jujur saja, yang kau katakan waktu itu adalah hal paling manis yang pernah aku dengar."
Pipi Dorothea sukses menjadi semakin merah. Kini wajahnya menjadi seperti tomat yang marun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Normal ; The Manuscripts
Fanfiction! ATTENTION ! Buku ini berisi kumpulan spin-off dari ceritaku yang lain berjudul 'Normal (A BNHA Fanfiction)'. Sebaiknya membaca yang itu dulu sebelum kalian membaca ini. Karena banyak hal di sini yang mungkin sulit dipahami tanpa membaca itu dulu...