Manuscript 1 : Selenophile 3

109 14 0
                                    

Angin malam menderu keras di Korusanto. Mengibarkan rambut biru Monika di udara. Pemandangan dari atas gedung pada malam hari memang selalu cantik. Di tambah langit berbintang di atas. Bulan tampak lebih besar dari tempat wanita itu berdiri.

Akan tetapi, dia disana bukan untuk pemandangannya.

Senyuman lebar terbentuk di wajah ketika sebuah suara langkah kaki jatuh di belakangnya.

"Senang bertemu denganmu kembali, Eraserhead!"

Pro Hero di hadapan hanya memberikan pandangan kecut. Mata hitamnya tampak menyiratkan perpaduan kesal dan lelah.

"Kupikir kau orang lain," dengusnya. "Apa yang kau lakukan di sini? Dan darimana kau tahu rute patroliku?"

Monika berdehum. Telenjuknya mengetuk dagu. Kepala tengadah. Mengamati bulan sabit besar di langit.

"Well," Monika terkekeh kecil. "Seorang pesulap tidak akan memberi tahu triknya!"

Dia hampir tertawa melihat ekspresi Pahlawan itu. Seakan-akan sudah selesai dengan semua hal ini. Jujur, jika dibandingkan dengan wajah sahabatnya—Nikky—mereka tidak jauh-jauh amat.

"Oh, ayolah! Aku bercanda! Apa semua Pahlawan semembosankan dirimu?"

"Aku hanya menganggap pekerjaanku serius," tegas Aizawa. "Jadi, jika kau tidak ada urusan—"

"Sebenarnya," sela Monika. Lagi-lagi diikuti seringaian lebar.

"Aku punya hadiah untuk kalian."

Dia melemparkan map yang dia bawa dengan dramatis. Dalam hati bersyukur angin tidak menerbangkannya sebelum bisa ditangkap oleh Aizawa.

Pro Hero itu tampak curiga. Akan tetapi, dia tetap membuka map kuning dengan perlahan.

Matanya terbelalak.

"Ini—darimana kalian bisa mendapatkan informasi ini?"

"The Children punya banyak mata, pal," ucapnya.

Dengan santai, Monika berdiri di ujung gedung. Mengintip ke bawah sebentar. Lalu berpaling ke Eraserhead.

"Kami serahkan penggrebekan geng-nya ke kalian," ucap gadis itu singkat. Tangannya memberi salutan.

"Godspeed."

Monika melompat turun.

***

"Yo, Nomura-san apa kau sudah—hey, apa itu?"

Monika melangkah ke ruangan laboratorium. Tampak Nomura sibuk mengutak-atik laptop. Matanya terpaku ke layar sementara jarinya menari di atas keyboard. Dia berdehum.

"Aku menemukan sesuatu yang menarik," ucapnya.

Monika mendekati layar. Matanya menyipit melihat ilustrasi yang tertangkap di sana.

"Kau tahu alucinor—sering juga dipanggil dream eater—adalah demon yang biasa 'memakan' pikiran dan halusinasi manusia?" tanyanya. Dia melirik ke sampel obat hijau yang ditemukan di rumah tua.

"Obat ini tidak hanya mengundang mereka," gumam Nomura. "Obat ini—membuat mereka makin kuat."

Alis Monika terangkat. Memorinya bergulir pada pertemuan di rumah tua.

"Yang aku lawan hanya seperti alucinor biasa," ucapnya.

"Yeah," gumam Nomura. Dia bangkit dari kursinya. Mulai berjalan mondar-mandir sembari mengelus dagu.

"Somnus membuat 'pikiran' atau 'halusinasi' dari sihir. Dan jika halusinasi yang bercampur sihir itu dimakan oleh alucinor—" kening Nomura mengerut.

Normal ; The ManuscriptsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang